Bagian 55-Kebersamaan Black Tiger

896 69 5
                                    

"Sejauh apapun kita pergi, dan sekeras apa dunia yang kita tapaki, kita tetaplah sahabat. Karena sahabat, dialah yang selalu ada meskipun semesta menolak hadir mu di dunia."

***

Devan menghembuskan napas kasar, sebelum menapakkan kakinya di pelataran maskar Black Tiger. Dengan langkah  pelan, ia berjalan menuju keruang utama markas. Tempat biasa ia berkumpul dengan anak-anak Black Tiger yang lain.

“Eh itu kan Devan!” Seru Rehan cukup keras hingga membuat anak-anak Black Tiger sontak menoleh dan mengikuti arah pandang Rehan. Seketika, mereka berteriak heboh, segera berlari mendekati sang ketua Black Tiger tersebut untuk menyambutnya.

“Devan!!!” Teriak Kai, paling heboh. Dengan cepat ia menarik tubuh sahabatnya itu kedalam pelukan.

“Astaga... gue gak salah liat kan ini?” Tanya Hito, masih tak percaya.

“Enggak To, bener-bener Devan.” Kata Darren menyadarkan. Sedangkan Devan hanya bisa tersenyum menanggapi semua ucapan yang terlontar dari mulut teman-temannya.

“Lo udah keluar dari rumah sakit?” Tanya Sevan.

“Sebenarnya si belum, tapi gue maksa Fero buat di bolehin keluar. Dan untunglah, dia ngiizinin.” Jawab Devan. Kemudian pandangannya beralih, menatap sosok Rian yang masih duduk di sofa dengan tenang sambil membaca buku. Lantas, tawa kecil keluar dari mulut pria itu. “Gimana mau ngehandle pasukan, kalau kerjaan cuma baca buku terus kayak begitu.”

“Hah?” Kaget Hito. “Apa?”

Devan terkekeh pelan. Tanpa menghiraukan semua kebingungan Hito, ia berjalan santai kearah sofa, dan menjatuhkan duduknya disamping Rian. “Fokus amat baca buku, sampai gue datang aja lo gak tahu.” Sindir Devan sontak membuat pria sedingin es itu menoleh.

“Gue udah tahu.” Balasnya singkat.

“Lo ngapain kesini Van? bukannya dirumah sakit, malah keliaran.” Heran Hito.

“Gak apa-apa si. Cuma lagi kepengen aja liat muka kalian yang gak ada bagus-bagusnya itu.” Kata Devan seraya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

Kai mendengus pelan. “Anjing lo!”

“Mumpung gue lagi disini, kita main game yok.” Ujar Devan.

“Main game? Game apaan?” Darren lantas menunjuk sebuah play station yang ada disebelahnya. “Ps?

Devan tampak berpikir. Kemudian, ia tersenyum penuh arti. “Truth or truth.” Ungkapnya membuat keenam inti Black Tiger tersebut kebingungan.

“Truth or truth?” Rehan mengernyit bingung. “Bukannya truth or dare ya?”

“Iya ya, bukannya truth or dare.” Bingung Darren, menimpali.

“Gak.” Geleng Devan. “Karena disini, gue gak ngadain tantangan. Hanya kejujuran yang perlu kita lakukan dalam permainan ini.”

“Kenapa hanya kejujuran?”

“Karena kita selama ini gak pernah jujur sama hal apapun yang kita alamin. Kita selalu menganggap bahwa kita sendiri bisa nanggung semua beban tanpa perlu bantuan orang lain. Padahal, Black Tiger itu bukan hanya sekedar tempat untuk berkumpul. Tapi juga sebagai rumah untuk kita pulang, serta sebagai sandaran dan tempat kita untuk berkeluh kesah.” Sambung Devan. “Gimana, lo pada mau gak?”

“Boleh.” Sahut yang lainnya sembari mengangguk-anggukan kepala, setuju.

“Oke.” Devan beranjak dari duduknya, mengambil sebuah pulpen yang terletak diatas nakas, lalu kembali duduk berkumpul bersama anak-anak Black Tiger. “Gue mulai ya.” Dengan segera, Devan memutar pulpen tersebut dan ujung pulpen itu berhenti tepat mengarah kepada Rian.

Rian diam sejenak, kemudian memutar kedua bola matanya malas.

“Asekkk! Rian ini bos yang kena! Si kulkas berjalan kita...” Pekik Kai girang. Cepat-cepat ia mengambil alih pulpen tersebut dan kembali memutarkannya. Dan dalam beberapa detik, ujung pulpen tersebut berhenti didepan Hito. Sontak pria yang terkenal akan tingkah playboynya itu bertepuk tangan senang.

“Mantep. Gue kebagian yang tanya!” Ujarnya antusias. Kemudian pandangan Hito beralih menatap Rian dan menyorot serius wajah pria datar itu. “Yan, gue mau nanya. Lo jawab jujur ya?”

“Hmmm.” Balas Rian enggan.

“Yan, sebenarnya, sikap lo dingin kayak gini emang udah dari lahir, atau karena ada sesuatu hal si?” Hito bertanya serius.

Rian diam sejenak, lalu mulai membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan itu. “Dari lahir.” Jawabnya singkat.

“Yang bener? Bukannya karena ada sesuatu juga ya?” Timpal Devan menginterupsi.

Hito manggut-manggut, mengiyakan. “Nah iya, gue denger-denger sikap lo tambah dingin karena ada seorang cewek yang waktu itu ninggalin-“

“Liora.” Potong Rian cepat. “Gue sebenarnya gak mau si, bahas tentang dia. Tapi karena ini game kejujuran. Ya, jadi gue mesti totalitas.”

“Nah, tu tahu.... Yok buruan cerita!” Seru Rehan tak sabar.

“Jadi gue dulu punya pacar. Namanya Liora.” Rian menghembuskan napas panjang sebelum kembali melanjutkan perkataanya. “Dan dia pergi ninggalin gue tanpa alasan yang jelas.”

“Anyingg dada gue sakit!” Ucap Kai mendramatrisir, sambil memegang dadanya dan mulai berakting layaknya orang kesakitan. Lirikan tajam yang diberikan Rian kepada Kai, mampu membuat laki-laki itu mematung. Ia kemudian terkekeh dan melempar cengiran sok manis kepada Rian agar dimaafkan.

“Dan setelah Liora pergi, gue yang emang pendiem sejak lahir, jadi tambah pendiem gara-gara kepergian dia.” Lanjut Rian dengan senyuman miris diakhir kalimatnya.

Perkataan Rian barusan, berhasil membuat Devan kepikiran akan satu hal. Apa waktu itu Rian mendekati Reina hanya untuk dijadikan pelampiasan? Ataukah karena Reina mengingatkan Rian kembali akan sosok Liora? Entahlah, Devan tidak mau berpikiran negatif tentang itu. Ia tidak ingin merusak momen persahabtan mereka hanya karena sesuatu hal yang belum pasti kebenarannya.

“Oke, sekerang giliran gue yang muter pulpennya.” Ujar Sevan dan mulai memutar pulpen tersebut. Ujung pulpen pada putaran pertama, berhenti didepan Hito dan yang kedua berhenti didepan Darren.

“Mantep! Giliran gue yang tanya.” Kata Darren sambil tersenyum lebar menatap Hito. “To, jujur ya, lo kenapa si suka mainin cewek?”

Duarr!!!

Apa yang Darren tanyakan, benar-benar mewakili semua pertanyaan yang telah bersarang diotak Devan, Rian, Kai, Sevan, dan juga Rehan selama ini.

“Nah, kenapa hayo. Coba lo jawab.” Tuntut Kai penasaran.

Awalnya, raut wajah Hito berubah sedikit muran setelah Darren melemparkan pertanyaan itu. Namun selang beberapa detik, Hito menarik senyum tipis dibibirnya. Walau sebenarnya Devan sendiri tahu, ada luka dibalik senyuman itu, yang selama ini telah mampu menaklukan para gadis.

“Kalian sendiri tahu kan, defenisi dari buah jatuh gak jauh dari pohonnya?”

Semuanya tampak berpikir setelah mendengar perkataan Hito tersebut, namun tak lama, mereka mengangguk bersamaan.

Hito tersenyum kecil. “Begitu juga dengan gue. Sikap gue yang brengsek seperti sekerang, juga gak jauh beda sama apa yang udah bokap gue dulu perbuat. Dan lebih parah, dia selingkuh dari nyokap gue, tepat didepan mata gue sendiri.”

Mendengar itu, keenam inti Black Tiger tersebut turut merasa iba dan prihatin atas apa yang sudah Hito alami. Namun, ada sesuatu hal yang tidak Kai terima dengan semua alasan dan penjelasan yang Hito berikan.

“Lo tahu kan To, rasanya dikhiantin itu kayak gimana? apalagi yang ngalaminnya ibu kandung lo sendiri. Terus, kenapa lo ikutin sikap brengsek dari bokap lo itu?!”

Hito terkekeh kecil sebelum menjawab pertanyaan yang Kai berikan. “Gue sebelumnya udah tanya kan sama kalian, soal buah jatuh gak jauh dari pohonnya? Jadi, gue sama bokap itu gak jauh beda. Walau bagaimanapun, gue itu darah dagingnya bokap. Anaknya dia. Dan sikap brengsek kami juga sama. Jadi ya, ibaratkan, sikap gue itu keturunan dari bokap lah.”

“Dan lo mau gini terus selamanya?” Giliran Sevan yang bertanya.

Hito menggeleng dengan lengkungan dibibirnya yang belum juga pudar. “Enggak. Gue akan berhenti setelah gue nemuin seseorang yang pas.”

“Seseorang yang pas?” Rehan mengernyitkan dahinya.

“Iya.” Angguk Hito. “Dan menurut gue, mungkin bokap ngelakuin hal itu, karena nyokap bukanlah seseorang yang tepat buat dia. Kalau emang mereka jodoh dan ditakdirkan buat bersatu, sampai matipun mereka gak akan pernah pisah, apalagi pisahnya menyangkut orang ketiga. Gak mungkin banget kan?”

Kai manggut-manggut, mulai paham. “Terus, kenapa lo gak pernah cerita soal ini?”

“Selagi gue bisa nanggung beban itu sendiri, dan nutupin hal itu tanpa perlu orang lain tahu, kenapa enggak?” Respon Hito sembari mengangkat kedua bahunya. “Sama kayak Devan. Tapi bedanya, gue gak sebego dia yang berani ambil risiko buat nanggung beban sebanyak itu.”

“Lah kok, kenapa gue jadi bawa-bawa?” Protes Devan tak terima. Dan Hito hanya terkekeh menanggapi. Namun dalam sekejap, wajah Devan berubah muram. Ia mulai kepikiran dengan perkataan Hito tadi. Ternyata, bukan hanya dirinya yang menanggung beban dan luka dalam keterpura-puraan. Meski sedikit, tetap saja Hito munafik bukan? Ya, sama seperti dirinya selama ini.

“Udah-udah woy!” Lerai Rehan ngeggas. “Sekarang, giliran gue yang muter.” Rehan memutar pulpen tersebut dengan kencang, dan kemudian ujung pulpennya berhenti, tepat didepan Devan, dan ujung pulpen yang kedua, berhenti tepat didepan Rian.

Dalam hati, Devan berdecak kesal. Mengapa harus Rian yang memiliki kesempatan untuk bertanya padanya?

Rian berdeham singkat sebelum memulai pertanyaan. “Van.” Panggil Rian, membuat pandangannya dan Devan seketika bertemu. Wajah datar itu seketika berubah jadi serius, dan menyorot lekat tatapan legam milik laki-laki didepannya. “Bagi lo, apakah melepaskan seseorang itu, adalah sesuatu hal yang menyakitkan?”

Devan tak langsung menjawab. Ia betul-betul memikiran dengan matang, sebelum menjawab pertanyaan tersebut. “Melepaskan adalah hal yang menyakitkan. Terlebih yang gue lepaskan adalah orang yang paling gue cinta dan paling berharga dalam hidup gue.” Lantas, senyum terukir dibibir tampan itu. Sekelebat bayangan akan seseorang, kembali hadir dalam benak Devan. Tawa kecil itu muncul, setelah meyaksikan sosok bayang itu tersenyum dihadapannya. “Tapi, selagi hal itu dapat membuatnya bahagia, kenapa gue harus merasakan sakit? Karena bagi gue, obat paling ampuh untuk mengobati rasa sakit itu sendiir, adalah saat dimana kita dapat melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau bukan diri ini yang membuatnya bahagia.”

“Dan apa lo yakin, orang yang lo percayakan, mampu membahagiakan orang yang lo sayang?”

“Why not? Hati gue gak pernah berbohong. Ketika sudah memilih, maka dialah orangnya.” Jelas Devan, membuat sudut bibir Rian perlahan-lahan tertarik membentuk lengkungan.

Gue janji, gak akan pernah mematahkan kepercayaan lo itu Van.”

DEVANO (Selesai)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang