Bagian 40-Triple Black

492 70 0
                                    

"We can, we win, and are invincible"

***

“Na, beneran lo gak mau ke rumah sakit?” Tanya Reina memastikan. Ia sangat khawatir melihat wajah pucat Aina. Gadis itu masih terbaring lemas di kasur dengan kain kompresan yang tertempel di keningnya.

Aina menggeleng lemah. Ia menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum sayu menatap Reina. “Gue gak apa-apa kok Na. Lo tenang aja ya?”

“Tapi...”

“Gue ini kuat. Jadi lo gak usah khawatir.” Sela Aina cepat. Ia menatap lekat Reina. Gadis itu terlihat sangat cantik hari ini. “Lo, mau kencan ya?”

Reina terdiam. Bingung harus menjawab apa. Aina pasti akan merasa bersalah jika ia mengatakan yang sesungguhnya.

“Em...”

“Maaf..” Wajah Aina berubah muram. “Gara-gara gue, lo gak jadi pergi kencan deh sama kak Devan.” Ucapnya, merasa tak enak hati.

Reina mengulum bibir. Meraih tangan kanan Aina yang dingin. “Udah, gak usah di pikirin. Kesehatan lo itu nomor satu buat gue.”

Aina tersenyum. “Makasih ya Na.  Lo emang sahabat baik gue.”

“Iya. Sama-sa-“

Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar Aina. Membuat kening keduanya mengernyit secara bersamaan. “Siapa ya?” Reina memperhatikan pintu kamar Aina. Bingung, mengapa ada orang yang tiba-tiba mengetuk pintu kamar. Bukannya di rumah ini, hanya ada dirinya dan Aina, berdua saja. Reina kembali menatap Aina, yang juga sama bingungnya dengan dirinya. “Siapa si Na?”

Aina mengedikan bahunya. “Gak tahu tu. Bukannya mama sama papa gue lagi pergi ke keluar kota ya? kok cepet banget, udah pulang?”

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu kembali terdengar, kali ini lebih keras hingga membuat bulu kuduk keduanya meremang. Reina menelan salivanya kasar. Ia perlahan bangkit, mencoba memberanikan diri untuk mendekat ke arah pintu kamar.

“Eh Na, jangan!” Sergah Aina sembari mencekal tangan Reina.

“Gak apa-apa. Pasti bukan orang jahat kok.” Kata Reina meyakinkan, sembari melepaskan tangan Aina dari tangannya. Ia kembali melangkah dengan perlahan, mendekat ke pintu kamar. Reina menarik napasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Dengan ragu, ia mulai memutar knop, dan mendorong daun pintu dengan pelan. Ia mengernyitkan dahinya, saat tak mendapati satu pun orang disana. Padahal tadi ia dengar dengan jelas, ada orang yang mengetuk pintu kamar berkali-kali.

“Lah kok, gak ada ya?” Bingung Reina. Setelahnya, ia kembali berbalik menatap Aina. “Gak ada orang ternyata Na.”

Mata Aina melebar. Ia menunjuk Reina, dengan tangan bergemtar ketakutan. “Re-reina, di belakang lo.” Reina mengernyitkan dahinya bingung. Ia hendak membalikkan tubuhnya, namun seseorang sudah lebih dulu membekap mulutnya dari belakang. Reina segera berontak, ia mencoba melepaskan diri, dan tiba-tiba...

BUGH!

Pria bertopeng dengan memakai jubah hitam itu memukul tengkuk Reina dengan keras, hingga membuat gadis itu terpekik kesakitan. Pandangan Reina perlahan mengabur. Beberapa detik kemudian, kesadarannya jatuh dalam kegelapan dan ia tak dapat merasakan apa-apa lagi setelahnya.


***


Devan memperhatikan ke sekitarnya. Sudut bibirnya sedikit tertarik, saat tahu pasukan Warlock sudah banyak yang berjatuhan. “Lo liat Bara! Black Tiger gak akan pernah kalah lawan warlock!”

“Seberapa banyak pun pasukan lo! Black Tiger tetap akan yang jadi juaranya!” Sahut Kai, berbangga.

“Shit!” Bara berdecak. Ia berusaha untuk bangkit, namun sial. Tubuhnya terasa remuk redam. Tulang-tulangnya seolah patah akibat pukulan bertubi yang Devan berikan. “Awas aja lo Devan!” Gumamnya nyaris berbisik.

Devan tersenyum puas. Lagi dan lagi, kemenangan terus berada di tangan Black Tiger. “Lo bisa liat kan sekarang, sekuat apa Black Tiger, dan selemah apa Warlock!” Desisnya tajam. Ia berbalik, meninggalkan Bara yang masih tergeletak tak berdaya, dengan tubuh yang sudah di penuhi luka-luka. Namun suara dering handphone yang terdengar berhasil menghentikan langkahnya.

Devan segera mengangkat panggilan dari nomor yang sama sekali tak di kenalnya itu, dan mendekatkan handphonenya ke telinga. “Hallo?”

Hallo, Devano.”

“Siapa ya?” Terdengar tawa kasar yang begitu menggelegar dari seberang. Seperti, tawanya seorang psikopat.

“Hallo, ini siapa?” Tanya Devan lagi. Nada bicaranya mulai tak ramah. Sedikit kesal karena bukannya menjawab, orang yang menelponnya ini malah keasikan tertawa.

Gue tunggu kedatangan lo. Di gedung tua bekas pabrik kayu lama. Cewek lo gue tahan di situ!

DEVANO (Selesai)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang