#36

464 100 7
                                        


Entah berapa lama aku terduduk di lantai dengan mata masih tetap menatap takut-takut kotak di atas meja belajarku itu. Perasaanku sudah membaik. Aku sudah cukup tenang. Jantungku sudah berdetak dengan normal lagi. Hanya telapak tanganku saja yang masih keringatan.

Aku duduk di tepi tempat tidur dan mulai memaksa otakku untuk berpikir siapa yang mengirimkan kue dengan ancaman itu. Dan apa maksudnya dari rahasiaku? Rahasiaku yang mana? Aku tidak terlalu mempunyai banyak rahasia, apalagi rahasia terdalam. Aku tersentak ketika menyadari bagaimana jika orang yang mengancamku ini mengetahui jika aku menyimpan rahasia soal keluarganya Rendra itu.

Apa itu Rendra?

Tanganku kembali bergetar. Bukan karena ketakutan. Tepatnya lebih ke kesal mengingat jika Rendra masih saja menggangguku? Bukankah sudah jelas jika aku tidak akan memberitahu ke siapa pun mengenai kejadian tahun lalu itu?

Aku menyambar ponsel dari saku celana dan mencari-cari kontak Rendra. Ternyata kontaknya masuk ke daftar blokiran. Ah, di daftar blokiran itu juga ada kontaknya Edgar. Bagaimana ya perkembangan kasus dari Edgar? Aku sebenarnya takut untuk menanyakan kelanjutan kasus itu pada Ayah yang mungkin saja mengetahui itu. Namun sepertinya Ayah juga tidak mengetahui itu. Mungkin saja pihak kepolisian belum menemukan apa-apa.

Oke. Balik lagi ke Rendra. Aku memutuskan untuk menghubunginya. Terdengar dering beberapa kali dan aku tersambung ke pesan suara, yang mana langsung kubatalkan panggilannya. Beberapa kali aku mencoba untuk menghubungi Rendra, namun tetap saja tidak terhubung. Ponselnya tidak aktif. Atau... nomornya memang sudah tidak aktif? Apa ini bagian dari permainannya?

Aku menepuk kedua pipiku untuk membuatku buyar dari lamunan. Aku menghubungi Sarah. Dalam hati semoga di sore ini, dia tidak sibuk. Ya... walaupun sekarang musimnya liburan, tapi katanya Sarah mengambil pekerjaan paruh waktu untuk pengalaman dan tambahan uang saku.

"Halo? Nadine?" Suara Sarah terdengar bahkan sesudah dering kedua.

"Kak Sarah? Lagi sibuk?" tanyaku sembari melirik jam di dinding kamarku. Sudah jam setengah enam. Aku tidak terlalu tahu jadwal bekerjanya. Namun Ayah berkata jika Sarah bekerja kadang-kadang di jam enam sore hingga jam sembilan malam.

"Hmm? Ini lagi siap-siap mau pergi. Ada apaan? Tumben nih telepon. Udah lama banget enggak nelepon aku ya, Nad. Sibuk, ya? Hayo... sibuk apaan emangnya?" Terdengar suara tawa Sarah yang renyah.

Aku memutar bolamata. Namun ikut tertular tawanya. Lalu aku langsung terdia mengingat jika topik pembicaraan yang akan kubicarakan ini cukup serius. "Kak Sarah... err... ini soal Rendra."

Sarah langsung terdiam. Memang. Topik soal Rendra cukup sensitif bagi kami berdua. Tiap kami membicarakan ini melalui telepon, pasti akan lebih banyak hening ketimbang obrolan. Yang mana menunjukkan jika kami sama-sama takut dan sama-sama tidak tahu harus berbuat apa.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Dia masih ada gangguin Kak Sarah?"

"Sekarang sih... enggak. Kalau kamu? Masih ada digangguin sama dia?" tanya Kak Sarah.

Aku melirik kotak kue itu. Ah, aku benar-benar ingin menceritakan mengenai kue dengan ancaman yang membuatku bergidik ketakutan itu. Namun, tentunya aku tidak mau membuat kakakku itu ketakutan juga dan khawatir padaku. Lagipula aku masih mencari siapa orang yang mengirimkan itu.

"Enggak. Akhir-akhir ini dia enggak kelihatan. Mungkin... ada kelihatan di sekitar kampus?" tanyaku lagi.

"Enggak ada, Nad. Benar-benar enggak ada. Aku selalu pasang mata dan jaga-jaga akhir-akhir ini. Dan enggak ada sosok dia yang muncul gitu aja tau ngikutin aku. Mungkin... dia lagi ada urusan?"

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang