#24

1.1K 168 4
                                    


Aku bisa merasakan ketakutannya dari sinar matanya itu.

Gretta menggenggam tanganku. "Nadine, gue takut."

Aku memilih untuk duduk di sebelahnya. Aku mengelus-elus tangannya untuk menangkannya. Entah itu bisa menenangkan atau tidak, aku tak tahu. Aku mengembuskan napas, kini berusaha menenangkan diri. Aku tidak boleh panik karena Gretta sudah panik. Kalau dia panik dan aku panik, bagaimana jadinya. Aku tidak boleh langsung menghakiminya.

"Udah berapa lama, Ta?" tanyaku pelan.

Gretta menundukkan kepalanya. Berusaha menghindari tatapan mataku. "Uhm... hampir empat minggu."

"Empat minggu? Maksudnya empat minggu tuh satu bulan?" Aku terkejut lagi.

Kepala Gretta mengangguk pelan. Aku menarik napas dalam-dalam. Satu bulan? Ya ampun. Bisa-bisanya. "Siapa aja yang tahu?"

"Cuma lo, untuk sekarang."

"Lo nggak berniat kasih tahu nyokap?"

Matanya langsung menatapku. Seperti melihat hantu. Dia menggeleng kuat. Genggaman tangannya makin kuat. "Nggak. Bisa mati gue. Pokoknya keluarga gue nggak ada yang boleh tahu. Please, Nad. Jangan kasih tahu siapa-siapa. Gue takut."

"Oke. Oke. Gue nggak bakal kasih tahu siapa-siapa. Tapi lo emang harus ke rumah sakit ini?" tanyaku lembut.

"Kenapa memangnya? Rumah sakit ini lumayan sepi karena baru aktif lagi. Jadi gue rasa karena orang-orang yang ke sini sedikit, gue ke sini."

Aku berdehem. Membuatnya menatapku. "Bokap gue kerja di sini, Ta. Bagian forensik. Kadang dia di lantai 2 ini. Kadang di lantai 1. Seringnya sih di lantai 1 ta—"

"Serius, Nad?" Matanya melotot seperti akan keluar. Gretta kemudian menutupi wajah dengan kedua tangannya.

"Kayaknya gue pernah kasih tahu lo deh kalau bokap gue kerja di rumah sakit ini. Jadi... ya antara lo harus hati-hati biar bokap gue tetap nggak tahu atau lo yang pindah rumah sakit."

Gretta masih menutupi wajahnya. Aku mendengarnya sesenggukan. Aku mengelus punggungnya pelan-pelan. "Ta, udah."

Gretta menarik napas dalam-dalam. Dia menatapku lagi dan tersenyum tipis. "Nad, gue rencananya... mau... hmmm...."

"Ya?"

"Gue... mau aborsi."

Lagi, aku terkejut. Fakta mengenai hamilnya Gretta ini membuatku terkejut sekali. Dan sekarang dia bilang mau aborsi? "Gretta, kayaknya lo terlalu cepat ambil keputusan deh—"

"Terlalu cepat gimana, Nad? Gue nggak tahu harus gimana. Gue nggak mau keluarga gue tahu. Nggak ada pilihan lain selain aborsi, Nad. Kalau gue milih buat ngelahirin, gue bisa diusir dari rumah dan dicoret dari KK. Lo tahu betapa kerasnya bokap nyokap gue." Gretta mulai menangis. Dia sudah membayangkan apa yang terjadi pada pilihan lainnya.

Aku bisa membayangkan hal itu juga. Karena aku tahu benar keluarga Gretta yang sangat keras dalam membimbing anak dan pendidikan. Ibu Gretta dan Bunda bersaudara. Sebagai anak sulung yang mempunyai banyak duka daripada senangnya, ibunya Gretta mendidik anak-anaknya dengan keras. Gretta menjadi anak yang cerdas dan sangat berbakat. Semuanya iri padanya. Termasuk aku. Dan sekarang, hamil di luar nikah saat masih SMA? Itu adalah hal yang paling memalukan bagi keluarga. Aib.

"Ta, gue mungkin nggak tahu perasaan lo sekarang gimana. Tapi lo harus tahu kalau gue bakal dukung apa pun keputusan yang menurut lo baiknya gimana. Ini keputusan lo. Jadi lo harus pikirin dari berbagai sisi," kataku berusaha menenangkannya lagi. Walau pun aku tahu jika Gretta selalu mempertimbangkan segala sisi dalam hal apa pun termasuk hal sepele seperti membeli makanan untuk cemilan saat nonton bioskop.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang