#22

1K 165 5
                                    

Aku kesal.

Karena Aninda bahkan tidak membaca chat-ku dari kemarin. Oh, tidak. Dia tidak memblokku. Mungkin, belum?

Aku tahu benar dia marah dan apa dia tidak tahu kalau aku juga marah karena dituduh-tuduh padahal bukan aku yang melakukannya?

Mataku menatap ruang chat Aninda. Masih belum terbaca. Kenapa dengan dia? Apa dia membiarkan chat-ku begitu saja? Ini tidak bias dibiarkan. Aku tidak mau disalahkan karena faktanya aku tidak bersalah. Ini membuatku tidak tenang, anehnya.

Aku membanting tubuhku ke tempat tidur dan menatap langit-langit kamarku yang tidak ada apa-apa. Pintu kamarku terbuka. Bunda berdiri di ambang pintu sambil membawa sesuatu di dalam totebag bertuliskan go green.

"Nadine, tolong antarin ini ke Tante Ita." Bunda mengangkat totebag yang dibawanya.

Aku merubah posisi menjadi duduk di tepi tempat tidur. "Apa tuh, Bun?"

"Tempat makan. Enggak enak udah lama bener di rumah kita. Jadi dibalikin sekarang. Soalnya minggu depan ada acara di rumah Tante Ita, takutnya butuh tempat makan ini." Bunda berjalan masuk ke kamarku.

Kuambil totebag itu dan meletakkannya di pangkuanku. Cukup berat. "Isi tempat makannya apaan?"

Bunda merogoh saku rok yang dikenakannya. "Hmm? Yah Cuma kue bolu aja. Yang Bunda buat tadi pagi." Bunda menyerahkan kunci mobil padaku. "Nih."

Tanganku meraih kunci mobil yang ada di telapak tangan Bunda. Namun belum juga tersentuh olehku, Bunda menjauhkan tangannya. Beliau menyipitkan matanya padaku. "Ini Bunda izinin pakai mobil Cuma buat antarin tempat makan ke Tante Ita, ya. Terus kamu pulang. Jangan kemana-mana. Ingat. Kamu masih dalam hukuman."

Ah, ya. Hukuman. Karena surat peringatan itu, Ayah dan Bunda sepakat kalau aku dihukum selama seminggu. Tidak boleh menggunakan mobil, tidak boleh keluar rumah kecuali sekolah dan keperluan mendadak seperti tugas kelompok (bahkan aku tidak boleh keluar hanya untuk beli jajanan di supermarket terdekat), harus membersihkan rumah tiap sore, mencuci piring sesudah makan malam (sebenarnya ini tugasnya Aufar), dan menjaga Zacky di akhir minggu.

"Iya, Bun. Nadine ngerti. Nadine masih dalam hukuman selama seminggu," jawabku pelan, dengan berusaha tidak menggunakan nada membantah atau malas.

Bunda masih menyipitkan matanya untuk memindai wajahku. Mungkin ada sekitar 10 detik. Kemudian Bunda menyerahkan kunci mobilnya padaku. "Ingat. Kalau udah antar, langsung pulang. Jangan kemana-mana."

"Siap, Bunda." Aku bangkit sambil menenteng totebag itu.

Aku mengendarai mobil menuju rumah Tante Ita. Kuhidupkan musik untuk mengisi keheningan karena mengendarai sendirian tanpa music, itu cukup aneh untukku. Sebentar. Tante Ita, ya. Terakhir aku ke rumahnya... hmmm... saat aku menemukan jika Aninda bekerja di hotel itu, bukan? Oh, ya. Rumah Tante Ita cukup dekat dengan daerah hotel itu. Jadi... mungkin sebaiknya aku mampir ke dekat hotel tempat Aninda bekerja? Maksudnya aku bias menarik Aninda masuk ke dalam mobil untuk berbicara baik-baik dengannya.

Oke. Itu ide yang cukup bagus.

Tiba di rumah Tante Ita, aku menyerahkan titipan Bunda. Cukup lama berada di sana karena Tante Ita memaksaku masuk ke dalam rumahnya untuk mencicipi kue kering yang baru saja dibuatnya. Bahkan Tante Ita memberikan setoples nastar untuk kubawa pulang.

Setelah berusaha keras pamit dengan sopan, aku akhirnya diizinkan pulang. Bukannya pulang, aku membawa mobil menuju daerah hotel. Sekarang ini jam-jam di mana biasanya Aninda akan muncul. Aku memarkikan mobil di ujung jalan. Cukup jauh dari hotel, namun bisa dengan jelas melihat sisi depan hotel. Aku bersandar di kursi sambil melipat tangan di depan dada. Tiba-tiba dari spion, aku melihat sosok Aninda muncul dari belokan. Aninda menggunakan coat hitam yang panjang hingga lututnya. Dia menggunakan kacamata hitam. Aninda berjalan dengan langkah lebar-lebar. Kepalanya menoleh kanan kiri.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang