#05

2.6K 324 1
                                    

Sudah dua hari ini, aku memperhatikan Aninda di sekolah. Bagaimana dia bersosialisasi atau bertingkah. Dia bagaikan siswa normal lainnya. Aninda adalah perempuan cantik. Dia masuk ke klub padus dan itu menjadinya sorotan oleh siswa lainnya.

Aku tak berani mengambil prasangka dan praduga buruk terhadapnya atas apa yang aku lihat dua hari yang lalu. Tapi selalu saja ketika melihat sosoknya yang ceria dan baik hati di sekolah, aku mulai berpikir yang tidak-tidak.

Mungkin dia punya alasan yang jelas.

Tapi apa yang dia lakukan di hotel itu? Dengan pakaian di atas lutut yang menurutku tampaknya menggoda. Bahkan rambutnya pun ditata sedemikian rupa.

Tidak. Aku tidak bermaksud untuk menunduhnya. Aninda adalah wanita penggoda? Tidak mungkin. Tapi apa yang aku lihat, menjelaskan semuanya, bukan?

Tiap kali berpapasan dengannya, ingin sekali kutanyakan. Tapi aku enggan. Tidak mungkin aku bertanya padanya di sekolah.

"Pinggir kota?" Gretta bertanya.

Stop.

Aku tidak bercerita pada Gretta atas apa yang aku lihat di pinggir kota. Aku tidak mau menceritakan pada siapa-siapa. Aku tidak bisa mempercayai siapa pun, termasuk sepupuku sendiri.

Aku hanya bertanya tentang situasi pinggir kota pada Gretta ketika kami makan di kantin. Melihatku yang selalu makan sendirian bagaikan tak mempunyai teman, Gretta merasa kasihan.

Tangan kiriku kumasukkan dalam saku kardigan. Menekan tombol start diam-diam yang sudah aku hapal letak tombolnya di luar kepala.

"Iya. Katanya di situ bahaya, ya?" tanyaku menyendokkan bakso ke dalam mulut. Aku pernah mendengar sekilas mengenai situasi pinggir kota oleh teman sekelasku.

Gretta memotong baksonya kecil-kecil. "Lumayan berbahaya. Sepi. Dengar-dengar ada markas penjahat di sana. Gue juga kurang tahu dan enggak mau ambil pusing. Yang jelas lo jangan ke sana."

"Bahaya karena cuma diduga ada markas penjahat?" tanyaku keheranan. Pemikiran macam apa itu.

"Ya. Dan juga banyak hotel di sana yang punya klub malam. Lo pastinya ngerti apa arah pembicaraan kita. Dan... ada preman juga di situ."

"Preman?" tanyaku mengangkat alis. "Mereka penjahatnya?"

"Banyak yang bilang begitu. Itu wilayah kriminal, pokoknya. Lo jangan pernah ke sana kalau enggak mau kena bahaya."

Aku tidak menyahut ucapannya dan malah sibuk menghabiskan bakso.

"Nad, lo sebaiknya cari teman kek. Satu aja enggak apa. Lo sendirian terus. Gue enggak tahu mau bilang apa kalau nyokap lo tanyan lo ke gue," kata Gretta menatapku khawatir.

Aku mengibaskan tangan. Benar, aku selalu sendiri. Sering sendiri. Tidak punya teman dekat. Banyak anak yang mendekatiku, mengajak berteman atau jalan-jalan. Tapi aku menolak dengan halus. Dan memilih sendiri.

Aku mengunyah bakso. "Enggak usah mikirin gue. Kalau ditanya nyokap gue, ya jawab aja apa adanya. Gue enggak mau temanan sama siapa pun. Enggak ada yang bisa gue percaya. Kalau gue bosan sendiri, gue bakal cari teman. Lo enggak perlu khawatirin gue."

Gretta masih memandangku dengan tatapan khawatir seperti Bunda. Aku rasa Gretta-lah yang tepat menjadi anak Bunda. Banyak sifat mereka yang sama. Rentan khawatir, gegabah dan suka baper.

Aku sudah membuka mulut, hendak menyampaikan alasanku lagi pada Gretta untuk bisa meyakinkan dia. Tapi batal karena kini mataku menatap tajam Indah yang duduk di depanku.

"Lo ngajak jambak-jambakan lagi atau damai?" tanyaku tak menghiraukannya.

Indah duduk manis di kursi dan menatapku dengan senyum manis yang palsu. Dia memutar-mutar ujung rambutnya yang sesuai dengan namanya. "Calm down. Gue enggak mau ngajak berantem. Gue mau menawarkan perdamaian."

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang