#43

461 96 6
                                    

Setelah menemukan jika orang yang hampir membunuhku itu adalah Aji, aku hanya bisa terduduk di lantai dan menatapnya yang masih berbaring sembari menahan darah dari perutnya dengan kedua tangannya.

"Aji?" bisikku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Aku benar-benar tak percaya. Sesaat aku malah berpikir jika indra penglihatanku memburuk.

Kenapa bisa?

Aji mendengar bisikanku, dia menggerakkan kepalanya untuk melihatku. Ketika dia hendak bergerak, Aufar langsung menarik kedua tangannya ke belakang dan mengikat tangan Aji dengan syal yang dia ambil dari lemari bajuku.

"Teman lo?" tanya Aufar ketika selesai mengikat tangan Aji.

Aku hanya terdiam menatapi Aji. Aji pun balas menatapku dengan tatapan nyalang. Kenapa dia marah? Kenapa dia melakukan semua ini?

"Harusnya... lo... berbuat sesuatu... waktu itu..." Aji berbicara terbata-bata sambil menahan rasa sakit.

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

Tunggu. Jadi... dia yang melakukan semua yang telah kualami akhir-akhir ini? Pesan ancaman, kue darah, rahasiaku yang tersebar, minuman darah dan bahkan percobaan pembunuhan yang gagal dilakukannya.

Apa... dia yang membunuh Edgar?

Terdengar teriakan pelan. Aku menolehkan kepala ke arah suara dan mendapati Bunda berdiri di ambang pintu kamarku. Wajah beliau benar-benar pucat dan kaget. Tentu saja, itu reaksi yang normal. Melihatku yang terduduk tak berdaya dan wajahku yang pucat juga serta mata memerah karena menangis. Seorang lelaki asing—karena seingatku Bunda tak pernah bertemu dengan Aji—yang ada di kamarku dengan tancapan pecahan lampu yang masih ada di perutnya beserta darah yang masih merembes keluar, dan juga tangannya yang terikat. Serta Aufar yang berdiri di samping Aji dengan gestur siap siaga jika Aji hendak melakukan sesuatu. Tak lupa juga kamarku yang jadi berantakan karena pecahan lampu yang berserakan menyebar ke lantai kamar.

Aufar memberikan kode pada Bunda untuk mendekatiku karena Aufar sedang menjaga Aji. Bunda yang mengerti langsung menghampiriku. Beliau menarikku untuk menduduki tempat tidur. Tangannya mengelus-elus punggungku.

Aku merintih. Ah, benar. Punggungku juga terluka sedikit akibat pecahan lampu. Bunda menghela napas. Beliau benar-benar panik mendapati jika punggungku terdapat beberapa luka gores. "Bunda telepon Ayah dulu. Juga telepon polisi." Beliau mengeluarkan ponselnya dari saku rok yang dikenakan.

Mendengar kata 'polisi', Aji yang daritadi merintih sakit langsung memberontak berusaha untuk melepaskan ikatan di tangannya. Aufar yang melihat itu langsung menendang punggung Aji sehingga Aji kembali jatuh terbaring. Kurasa ketika dia jatuh ke lantai, perutnya yang terluka mengenai lantai lebih dahulu. Mungkin tancapan pecahan lampu makin menusuk perutnya dan membuat lukanya makin menjadi-jadi.

"Gue jadinya harus ngelakuin sejauh ini... semuanya salah lo..." Aji berbisik, matanya masih mengarah padaku.

Aku menelan ludah mendengar bisikannya. Tentu saja aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Semuanya salahku? Memangnya aku melakukan apa?

Bunda mulai menjelaskan dengan cepat pada Ayah melalui telepon. Sebenarnya penjelasan beliau tidak terlalu jelas karena pastinya Bunda tidak terlalu mengerti apa yang baru saja terjadi. Namun aku menangkap jika Ayah akan langsung pulang dan membawa rekan beliau yang merupakan seorang polisi.

Terdengar tangis Zacky yang membuat Bunda langsung keluar dari kamarku dengan langkah cepat. Sebelum itu, beliau berkata akan berjaga-jaga di ruang tamu sembari menunggu kedatangan Ayah.

Aufar membungkukkan tubuhnya dan menarik ponsel yang keluar dari saku celana Aji. Dia memperhatikan ponsel tersebut. Kemudian Aufar mulai mengecek saku celana dan jaket yang Aji gunakan. Di tangan Aufar kini terdapat dua ponsel, pisau lipat, dompet, dan juga kunci motor.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang