#13

1.7K 272 3
                                    

Kamu dengar enggak?"

Aku menghembuskan napas keras-keras. Memberi gestur jika aku sedang jengkel. Kubanting diriku di atas sofa ruang tengah. Membuat Aufar yang sedang duduk di sana memakiku karena membuatnya tak fokus pada game yang dia mainkan di ponsel.

"Iya," jawabku malas-malasan sambil menghidupkan televisi dengan remote.

"Emang Bunda bilang apa barusan?" Bunda bersuara dari dapur.

Aku memperhatikan Zacky yang berjalan linglung mendekatiku. Kemudian dia meraih remote televisi dan mengemutnya. "Jorok," ucapku sambil merebut remote. Kuberika dia boneka karet sebelum tangisnya meledak. Aku menjawab Bunda, "Nadine enggak boleh keluar rumah selama seminggu."

"Dua minggu."

"Loh? Kok jadi dua minggu? Tadi katanya seminggu?!" Aku protes keras. Tidak boleh keluar selama seminggu saja sudah membuatku kebingungan. Apalagi dua minggu. Iya sih aku jarang keluar rumah. Aku hanya kadang mengelilingi kompleks rumah untuk jogging pagi hari atau jalan-jalan sore bersama Zacky.

"Seminggu karena kamu terlibat kasus pencurian itu. Seminggu lagi karena kamu enggak cerita ke Bunda tentang kasus itu. Masa Bunda tahu dari tetangga sih?" Bunda muncul di dekat lemari besar di ruang tengah.

Zacky bermain di kakiku. Aku membiarkannya tertawa sendirian. "Kan udah dibilang, Nadine enggak salah, Bun. Nadine dijebak orang iseng. Kalau yang masalah enggak kasih tahu Bunda, itu karena Ayah yang larang. Katanya nanti bikin Bunda sedih."

"Alasan deh kamu!" Wajah Bunda memerah. Itu kerap terjadi jika Bunda sedang marah dan mengomel panjang lebar. Beliau menarik Zacky ke dekapannya untuk dipakaikan baju. "Bunda tahunya dari tetangga. Anak sendiri enggak kasih tahu. Itu malah bikin Bunda sedih."

"Berarti Bunda harusnya ngomong sama Ayah dong. Ayah yang ajak Nadine kompromi biar enggak kasih tahu Bunda. Daaan Nadine enggak salah!" Aku mengerucutkan bibir dan melipat tangan di depan dada. Pandanganku tertuju pada televisi yang menampilkan acara anak-anak.

Bunda bangkit dan meraih bedak bayi di atas lemari. "Tetap aja. Pokoknya dua minggu."

Aku menghentakkan kaki ke lantai. Itu membuat sofa bergoyang dan Aufar menggeram padaku. Kemudian dia menghela napas dan menoleh padaku. "Ngaku aja salah. Gampang. Percaya sama gue," bisiknya menaikkan alis sambil lanjut memainkan game.

Bunda masih mengoceh panjang lebar mengenai kepercayaan. Beliau bolak-balik dari dapur ke ruang tengah. Aku menonton acara anak-anak itu dan sesekali melirik Zacky yang tertawa menonton acara itu.

"Bunda, iya deh. Nadine ngaku salah karena enggak kasih tahu Bunda. Tapi Ayah juga salah dong." Aku bangkit untuk mendudukkan Zacky di sofa.

Bunda muncul tiba-tiba di ruang tengah sambil menenteng plastik. "Kalau Ayah ya juga salah. Ya udah. Seminggu ya. Enggak kurang. Dimulai dari hari ini. Bunda mau pergi sebentar."

Aku duduk di antara Zacky dan Aufar. "Hati-hati, Bun."

"Awas, ya, kalau kamu diam-diam keluar rumah!" Suara Bunda menggelegar. "Aufar, tolong jaga kakak dan adik kamu."

"Beres, Bun!" sahut Aufar yang masih terpaku ke ponselnya.

"Loh? Bun! Terbalik! Harusnya aku yang jaga Aufar dong!" Aku protes sembari bangkit dan mengekor Bunda ke pintu depan.

"Karena kamu dalam masa hukuman. Bunda pergi dulu," kata Bunda menutup pintu depan setelah melangkah keluar.

Aku menghela napas berat. Mau bagaimana lagi. Ya sudahlah. Nikmati saja masa hukuman seminggu ini.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang