Mungkin ada sekitar lima menit aku berdiri di dekat gerbang depan sekolahku. Menatap bangunan dua tingkat yang catnya sudah hampir terkelupas namun memberikan kesan kuno yang elegan. Terdapat lumut di beberapa bagian dinding dan itu tidak membuat bangunan sekolahku ini jadi kelihatan buruk. Kalau dilihat dari depan, tepatnya dari gerbang depan, sekolahku ini terlihat kecil untuk menampung siswa yang hampir mencapai 1000 orang.
Tangan kananku di dalam saku rok. Menggenggam recorder yang sedang kunyalakan. Kicauan burung di pagi hari terdengar merdu. Angin kecil berembus di pagi hari namun suaranya di telingaku terdengar merdu juga. Perbincangan para siswa dan guru yang terdengar samar-samar melewatiku menambah sebuah perpanduan yang aneh namun indah di telingaku. Jadi, mungkin alasanku berdiri di depan sekolah.
Sebentar. Kenapa pula aku malah memandangi bangunan luar sekolahku? Ini aneh. Aku menghela napas berat. Kepalaku mendongak menatap langit biru. Untung saja dua hari kemarin libur, jadi aku bisa menenangkan diriku setelah menghadapi Rendra. Memang aku tidak apa-apa secara fisik. Maksudku, Rendra tidak memukuliku atau semacamnya. Namun, mentalku bisa dikatakan melemah. Apalagi mengetahui Sarah yang juga ketakutan di sana dan dua hari menghilang tanpa kabar yang membuatku cemas tak keruan. Aku tidak mungkin memberitahu hal itu kepada Ayah dan Bunda.
Semoga saja Rendra hari ini tidak datang menemuiku untuk mengancamku lagi. Karena aku takut dan belum siap untuk menghadapinya.
"Ngapain?"
Suara itu familiar. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa yang berbicara.
"Lo lagi mengamati bangunan sekolah kita?" Aji memiringkan kepalanya dan mengikuti arah pandangku ke jendela besar di lantai dua. Itu perpustakaan sekolah.
Aku tak menjawab. Karena aku sendiri juga bingung kenapa sehabis turun dari mobil Ayah, aku malah berdiri diam menatap bangunan di depan mataku. Aku menoleh dan mendapati Aji yang masih memperhatikan dinding bangunan yang catnya terkelupas. Aku menarik napas dan melangkahkan kaki.
Aji mengejarku dan berjalan di sampingku. "Lo masih simpan video pertemuan Pak Esa dan Pak Adrian Warsalingga?"
Aku memelankan langkah kaki. Aku menatapnya, mencaritahu ke arah mana pembicaraan ini berlanjut. "Iya."
"Bagus. Simpan aja dulu. Kalau perlu bikin salinannya."
"Memangnya ada apa?" tanyaku curiga dan penasaran sekaligus.
Aji tersenyum, penuh misteri. Senyuman itu sepertinya sudah jadi ciri khasnya. "Jullian Warsalingga lagi terkena masalah serius. Berpotensi untuk dikeluarkan."
"Terus?" aku masih tidak mengerti. Maksudnya aku tahu Adrian Warsalingga adalah ayah dari Jullian.
Aji menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. "Hmmm. Sebenarnya gue juga bingung video itu ada kaitannya dengan Jullian atau enggak. Tapi ya, jaga-jaga aja sih."
Aku mengerutkan kening. "Gue denger-denger gosipnya Jullian itu memang dari dulu bermasalah?"
"Nadine, gue tahu lo masih bisa dibilang anak baru di sekolah ini. Tapi bukannya lo harusnya udah tahu, ya, kalau semua yang ada di gengnya Regi itu hobi bikin masalah. Dari masalah yang kecil sampai besar. Masa iya itu aja lo enggak tahu?" Aji terkekeh.
"Ya gue tahu. Memang kelihatan bener sih kalau mereka hobi cari masalah. Tapi kalau kasusnya Jullian ini kan sampai ke kota sebelah. Bener?"
"Hmm? Gue juga belum dengar sih kronologis yang benar," sahut Aji mengangkat kedua bahunya. Aji tersenyum dan menunjuk telinganya. "Pasang telinga baik-baik. Siswa Paraduta hobi gosip. Dan gosipnya aja bisa kedengaran sampai karyawan cafe di depan sekolah. Gue tahu lo pintar, jadi gue harap lo bisa menyaring gosip-gosip itu. Jangan langsung ditelan."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Keeper
Fiksi Remaja[Paraduta Series #1] - COMPLETED Namaku Nadine. Aku anak baru di SMA Paraduta namun sudah mengetahui dan memegang rahasia beberapa orang yang cukup penting dan populer di sekolah baruku. Wanna know their secrets? Tapi jangan menyebarkan rahasia mere...