#25

1.1K 145 7
                                    


Pikiranku tidak bisa lepas dari Gretta. Dari luar, kelihatannya dia baik-baik saja. Tapi aku tahu benar bagaimana dia mati-matian menyimpan rahasia. Seperti saat ini sedang berlangsung acara ulang tahun pernikahan orangtua Gretta yang entah keberapa. Mungkin sekitar 20 tahun? Apa sudah pernah kukatakan jika Gretta adalah anak tunggal di keluarganya? Jadi kedua orangtuanya mempunyai harapan besar padanya. Menjadi anak tunggal di keluarga Gretta tidak menyenangkan, menurutku dan Aufar.

Aku dan Aufar duduk di sofa yang ada di ruang tamu rumah Gretta. Kami berdua mengamati semua orang yang sedang berkumpul di dekat keluarga Gretta. Ketika aku menyebut keluarga Gretta, maksudku hanyalah ayahnya, ibunya dan Gretta. Acara ini hanya mengundang keluarga dan rekan terdekat dari ayah dan ibunya Gretta.

"Menurut lo, senyumannya Gretta itu dipaksa nggak?" Aufar melanjutkan obrolannya yang tadi terhenti karena dia sedang asyik menyeruput minuman.

Mataku mengarah pada Gretta yang berdiri tepat di samping ibunya. Dia memasang senyuman riang di bibirnya. Sesekali dia berbicara menanggapi lawan bicara. "Hmm? Menurut lo?"

"Menurut gue, dia terpaksa tuh senyum-senyum begitu. Padahal sih ogah banget," sahut Aufar.

Aku mengerutkan kening. "Tapi gue yakin dia enjoy aja. Karena dari dulu ya dia udah dihadapkan dengan keadaan yang kayak gini."

"Karena terpaksa. Dia Cuma anak satu-satunya. Saat semua keluarga dengan anak tunggal itu memanjakan anaknya, beda sama Gretta. Gretta nggak pernah dimanjakan. Selalu ditekan untuk jadi lebih baik. Lo perhatiin itu nggak?"

"Iya. Nggak usah kita sebagai sepupunya deh. Gue rasa, orang-orang bisa lihat dengan jelas hal itu." Mataku kembali menatap Gretta. Kini dia sedang menyalami seorang pasangan yang kuyakini adalah teman kerja dari ayahnya. Dia tersenyum manis. Lalu ketika tak ada yang melihatnya, dia langsung terdiam memasang wajah biasa saja.

Yang dikatakan Aufar benar adanya. Karena itulah pikiran kami berdua. Dulu aku pernah berharap menjadi anak tunggal. Dari teman-temanku di SD dan SMP, aku bisa melihat jika anak tunggal adalah hal yang mengasyikkan. Maksudku, mereka dimanjakan. Bisa minta ini itu. Tak ada yang mengganggu. Aku ingin menjadi anak tunggal karena aku tidak mau punya saudara yang mengesalkan seperti Aufar. Aufar selalu menggangguku. Selalu membuatku kesal. Selalu merebut barangku. Selalu merusak barangku. Selalu mengadu hal yang tidak-tidak pada Bunda. Dulu kurasa Bunda lebih menyayangi Aufar ketimbang aku. Dan kemudian Zacky hadir, yang membuat aku dan Aufar berada di posisi yang sama. Posisi di mana kami berdua harus mengalah dari si bungsu. Aku sih tidak masalah karena aku sudah punya banyak pengalaman sebelumnya. Awalnya aku yakin jika Aufar tak bisa menerima itu. Namun dia lebih legowo dariku. Dia lebih bisa menjadi kakak yang baik untuk Zacky. Mungkin saja dia cocok jadi kakakku ketimbang jadi adikku.

Oh, ya. Balik lagi ke Gretta. Menjadi Gretta, tidak mengasyikkan. Karena dia anak tunggal, kedua orangtuanya memasang harapan yang sangat tinggi padanya. Dia harus jadi anak cemerlang, berbakat dan bisa membanggakan orangtua. Dari kecil, dia sudah mengikuti banyak kursus. Kursus piano, balet dan matematika. Aku ingat sekali. Di saat aku sibuk bermain dengan mainanku, dia malah sibuk menekan tuts piano dengan guru privatnya. Jadwalnya tiap jam diatur oleh ibunya. Bangun tidur, sarapan, berangkat sekolah, pulang sekolah, dan seterusnya. Sangat terorganisir. Maka dari itu Gretta adalah orang yang paling rapi dan disiplin serta teratur, karena sudah terbiasa.

Dari kecil, Gretta sudah membanggakan orangtuanya. Juara olimpiade matematika dan sebagainya. Aku ingat jika dia gampang-gampang saja mengikuti kehendak orangtuanya, namun yang tersulit adalah mempertahankan posisinya dalam juara lomba yang diikuti. Misalkan dia juara satu pada tahun lalu, tahun berikutnya jika dia mengikuti lomba, dia harus tetap juara satu.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang