#12

1.6K 252 5
                                    


Ketegangan ini sungguh menyiksaku. Sungguh-sungguh menyiksaku.

Aku hanya bisa terdiam di bangku penumpang depan. Ayah menyetir mobil dalam diam. Semenjak Ayah menjemputku di minimarket hingga sekarang di tengah perjalanan, Ayah hanya diam.

Jika Ayah diam begini, aku sudah ketakutan habis-habisan. Ayah marah dengan pertanda diamnya. Kasus diam begini pernah terjadi saat aku masih tinggal dengan Ayah. Ayah mendiamiku selama hampir dua hari. Namun beliau masih peduli padaku seperti mengantar-jemputku, menyiapkan makan dan mencium keningku. Aku tak berani mengucapkan sepatah kata. Apalagi menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

Mobil bukannya berbelok ke kompleks rumah kami.  Namun malah lurus ke depan dan menuju ke sebuah kedai es krim. Aku takut-takut melirik Ayah yang fokus menyetir. Ingin sekali bertanya kenapa malah ke kedai es krim? Apa mungkin membeli titipan Bunda?

Ayah menarik tuas persneling dan rem tangan, lalu turun dari mobil. Masih tanpa bicara padaku. Aku melihat sosoknya memasuki kedai kecil itu. Kaca jendela kedai itu gelap hingga aku tak bisa melihat apa yang Ayah lakukan di dalam sana. Lima menit kemudian, Ayah keluar sambil membawa segelas es krim berwarna putih dengan topping yang tak terlihat jelas di mataku.

Begitu masuk ke dalam mobil, Ayah menyerahkan es krim itu padaku. Aku hanya menatap es krim itu dan Ayah secara bergantian.

"Ambil. Buat kamu," ucap Ayah. Nadanya terdengar berat.

Langsung kuambil es krim itu. Kupandangi topping-nya. Oreo yang hancur. Es krim vanilla. Ini es krim kesukaanku. "Buat Nadine, Yah?" Aku memberanikan diri bertanya.

Ayah menarik rem. Dia mulai mengendarai mobil. "Iya. Buat kamu. Dimakan ya." Lalu bibirnya membentuk senyuman tipis. Namun langsung membuatku terbeku. Hatiku bergetar.

Mataku mulai panas. Tak bisa kubendung lagi. Beberapa tetes sudah turun ke pipi. "Ayah. Nadine enggak salah, Yah." Tangisku pecah.

Ayah hanya tersenyum mendengarku yang mulai menjelaskan kronologis yang sebenarnya terjadi. "Udah. Ayah tahu. Makan es krimnya biar kamu baikan dikit."

Aku menurut dan mulai menyendokkan es krim ke dalam mulut. Air mataku masih mengalir. Kemudian aku merasakan pucuk kepalaku dielus pelan dan lembut. Aku menangis lagi, sambil menyendokkan es krim.

Terdengar kekehan suara Ayah. "Ayah tahu kamu enggak salah. Ayah sudah lihat CCTV mereka. Kamu enggak ada niatan sama sekali untuk mencuri. Anak baik." Tangannya masih mengelus rambutku dengan lembut.

Ayah kemudian menyenandungkan lagu Let It be milik The Beatles yang mengalun di radio saat itu. Aku kadang ikut bernyanyi.

Suara Ayah. The Beatles. Senyuman Ayah. Es krim vanilla topping oreo. Perjalanan sore menuju rumah yang terasa jauh. Entag kenapa aku suka. Dan berharap bisa mengulanginya lagi.

Sudah dua hari ini Ayah mengantar dan menjemputku dari sekolah. Kami berdua kadang menikmati koleksi lagu-lagu Ayah selama perjalanan. Tidak ada es krim lagi. Tapi itu tidak apa.

Seperti sore ini. Aku baru pulang sekolah. Ayah mengendarai mobil. Mulut kami bersenandung menyanyikan lagu Stevie Wonder yang I just Called to say I Love You. Lagu itu menemani kami selama perjalan menuju sebuah rumah sakit. Ayah harus mampir ke sana untuk sebuah urusan. Kuharap urusan pekerjaan.

Setelah tiba, Ayah segera turun. Sebelumnya beliau menawarkanku untuk ikut dengannya. Namun aku memilih untuk menunggu di mobil. Aku masih menikmati lagu milik Stevie Wonder yang mengalun. Mataku memperhatikan para staf rumah sakit dan beberapa orang yang berjalan masuk dan keluar dari parkiran yang cukup ramai ini.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang