#06

2.7K 328 5
                                    

Aku menghembuskan napas panjang. Pintu bagian pengemudi terbuka. Aku menoleh dan mendapati Romi tengah menatapku. Mungkin lebih tepatnya meneliti wajahku.

Dia duduk di kursi pengemudi dan menutup pintu mobil. Diberikannya sebotol air mineral padaku yang masih belum terbuka. Aku menerimanya dan membuka tutup botol.

"Makasih," ucapku menelan beberapa teguk air. Aku menarik napas dalam-dalam.

Setelah menemukan Romi, uhm tepatnya Romi menemukanku. Mengatakan jika aku adalah temannya, Romi membawaku menjauhi preman-preman berwajah sangar itu. Aku mengalami serangan panik kecil tiba-tiba. Tangan gemetaran, telapak tangan basah, kepalaku berdenging, pelipis berkeringat dan hampir menangis.

Maka Romi pun mengatakan jika dia akan mengantarku pulang. Kini kami mampir di sebuah minimarket. Romi bilang aku butuh cairan sebelum dehidrasi di sela panik.

Jadi, kami tak berbicara beberapa menit lamanya. Aku memasukkan tangan ke saku jaket. Menemukan jika tombol start recorder tertekan ke dalam. Yang menandakan jika recorder masih merekam.

"Rom, gue bisa bawa mobil sendiri," kataku berusaha berbicara setenang mungkin. Aku mengusir semua praduga yang muncul tiba-tiba.

Romi mengusap wajahnya. Lalu dia memutar tubuhnya menghadapku. "Nadine. Lihat gue."

"Rom, gue mau pulang. Lo keluar dari mobil gue." Jujur, tanganku yang masih di dalam saku jaket gemetaran.

"Nadine."

Aku memejamkan mata kuat-kuat. Takut membayangkan apa yang muncul di benakku. Bahwa Romi, ketua klub fotografiku adalah anggota preman-preman pinggiran kota. Gretta bilang mereka berbahaya. Bahwa aku harusnya jangan datang ke pinggir kota. Aku harusnya--

Aku merasa jika kedua bahuku dicengkeram pelan. Tubuhku dipaksa menghadap ke kanan secara perlahan.

"Nadine."

Aku membuka mataku takut-takut. Bagaimana jika nantinya Romi menerkamku? Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih buruk?

Kedua mata Romi menatapku dalam. Tapi aku tak menemukan tatapan tajam yang menyiksa atau berapi.  Aku terpengarah, tentu saja terpengarah melihat tatapannya yang malah melembut.

Tangannya yang mencengkeram bahuku tadi terlepas. Romi menghela napas. "Gue bakal jelasin. Biar lo jangan salah paham. Biar lo enggak menduga-duga dengan hal-hal buruk."

Lalu dia terdiam sejenak. Memejamkan matanya dan menundukkan kepala. Satu tangannya memijit tulang hidungnya. "Itu geng motor, Nadine. Bukan preman. Bukan penjahat. Bukan kriminal. Cuma geng motor. Memang, tampang mereka sangar-sangar dan galak. Tapi mereka baik. Serius. Percaya sama gue. Mereka hanya sebatas geng motor. Bahkan kadang mereka bantu polisi."

Matanya menatapku tajam. Seperti meminta kepercayaanku padanya. Akhirnya aku memilih diam. Dengan kedua mata tetap mengarah padanya. Menunggu Romi kembali melanjutkan ceritanya.

Romi berdeham pelan. Dia menyandarkan punggungnya. Pandangannya mulai menerawang. "Mereka udah gue anggap sebagai keluarga gue di saat keluarga asli gue malah enggak memedulikan gue sedikit pun. Di saat keadaan gue yang sangat terpuruk, mereka yang ada buat gue. Mereka orang baik, Nadine. Orang-orang salah berpikir tentang mereka karena semua orang enggak tahu siapa mereka sebenarnya. Mereka enggak bakal mengganggu orang kecuali diganggu."

Aku hanya bisa diam selama ceritanya mengalir terus. Pastinya aku tidak mengerti bagaimana perasaan Romi karena aku tidak pernah dalam keadaan sulit seperti Romi. Aku hanya pernah mendengar desas-desus jika orang tua Romi sedang mengurus perceraian mereka. Aku yakin itu berat bagi Romi.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang