#03

3.1K 347 9
                                    

Semenjak kejadian tengah malam itu (walau pun kejadiannya tidak terlalu tengah malam), aku selalu diantar ke sekolah oleh Ayah. Adikku, Aufar juga begitu. Bunda terlalu takut membiarkan anak-anaknya ke sekolah sendiri. Beliau takut jika kejadian seperti itu terjadi pada anak-anaknya. Meskipun aku dan Aufar sudah ngotot tetap mau ke sekolah sendiri, Bunda melarang.

"Bun, Aufar kan selama ini sekolah selalu naik angkot. Enggak perlu dianter." Aufar tetap menolak usulan Bunda. Benar yang dia katakan. Aufar menginjak kelas 3 SMP. Dari awal SMP, dia sudah pergi ke sekolah sendiri. Entah itu naik angkot atau naik sepeda.

Bunda menggelengkan kepalanya. Dia menyuapkan bubur beras merah pada Zacky, adik bungsuku yang baru berumur 1 tahun beberapa bulan itu. "Bunda takut kalian kenapa-napa. Turutin Bunda aja deh."

Aku menatap Ayah yang sedang menikmati kopi paginya. Mencoba meminta pertolongan agar Ayah berbicara pada Bunda. Ayah mengerti tatapan mataku. "Dengerin aja kata Bunda kalian. Cuma seminggu aja Ayah antar kalian sekolah. Dan jemput kalian."

Seminggu? Terlalu lama. Bukannya aku tidak senang jika Ayah mengantar dan menjemputku sekolah. Hanya saja, aku masih menjadi anak pindahan. Aku butuh berkenalan atau melihat-lihat sekolah. Atau mungkin aku bisa berjalan-jalan sejenak sehabis pulang sekolah.

Pada akhirnya, setelah berdebat panjang, kami akan diantar jemput selama tiga hari. Tergantung dengan keadaan kota. Jika terdapat kecelakaan atau kejadian lainnya, mungkin antar-jemput ini akan berlangsung selama sebulan bahkan satu semester.

Aku dan Aufar menghela napas. "Tapi kan nanti gangguin pekerjaan Ayah," ucap Aufar masih mencari alasan.

"Sebenarnya, Ayah belum mau kerja. Walau pun udah dapat tawaran di rumah sakit, Ayah mau santai dulu. Kebetulan motor Bunda kalian harus diperbaiki." Jawaban Ayah sama sekali tidak membantuku dan Aufar.

Begitulah. Sudah tiga hari, Ayah mengantar dan menjemput kami. Ya, ini adalah hari terakhir Ayah mengantar jemput kami. Kadang Aufar mencoba pulang sendiri. Namun Bunda langsung memarahinya.

Pulang sekolah, aku menunggu jemputan di dekat gerbang sekolah. Aku menangkap mobil sedan hitam milik Ayah menepi di jalan dekat pepohonan. Mobilnya model lama. Cukup besar untuk jadi mobil keluarga. Tapi masih terlihat kinclong karena Ayah selalu merawatnya seperti anak sendiri. Aku langsung berjalan menuju mobilnya.

"Ayah mau ke bengkel sebentar. Enggak apa, 'kan?" tanya Ayah ketika aku masuk duduk di kursi belakang karena Aufar sudah menempati kursi depan. Kami berdua bergumam mengiyakan Ayah.

Ayah mulai mengemudi. Aufar menghidupkan radio, mencari-cari siaran yang tepat menurutnya. Mereka berdua mengobrol mengenai pertandingan sepak bola tadi malam yang mereka tonton bersama. Aku hanya diam sambil menatap jendela.

Saat di lampu merah, Ayah berbicara padaku. "Nadine, tadi orang tua teman kamu telepon Ayah. Orang tua Regi. Kamu kenal Regi? Anak yang kamu tolong saat kecelakaan itu."

Pastinya aku ingat Regi karena akulah yang menyelamatkan laki-laki itu. "Ya. Kenapa mereka telpon Ayah? Apa ada sesuatu?"

Ayah menatap angka yang berjalan mundur pada lampu merah. "Mereka cuma mau mastiin kamu aja. Nanyain keadaan kamu. Mereka juga minta kamu ke rumah sakit."

"Buat apa aku ke rumah sakit?"

"Entah. Kata mereka, Regi belum sadar. Jadi, kamu mau ke rumah sakit?"

Aku menyandarkan kepala pada kursi. Mungkin orang tua Regi mau berterima kasih padaku secara face to face? "Ya udah. Nadine mau ke rumah sakit."

"Oke. Ayah antar kamu. Tapi kita mampir ke bengkel sebentar, ya. Ayah mau pesan onderdil motor dulu"

Aku memperhatikan jalanan yang sedikit macet. Jam-jam pulang sekolah memang rentan macet. Begitu juga kalau pagi. Perjalanan menuju bengkel yang dituju berkisar antara 10 menit. Bengkelnya cukup sepi hingga Ayah memarkir mobilnya masuk ke dalam bengkel. Bengkel ini milik teman dekat Ayah. Makanya Ayah rela ke bengkel yang sepi ini daripada ke bengkel terbaik di kota.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang