#15

1.7K 233 7
                                    

Lagu dari Figura Renata mengisi keheningan di antara kami berdua. Aku bersyukur Galang menghidupkan lagu. Kalau tidak? Ya sudah. Keheningan mencekam ini bisa mencekikku perlahan. Mungkin aku tidak selamat tiba di rumah karena keheningan ini. Dan ditambah aura intimidasi Galang yang membuat buku kudukku kadang merinding. Tentu saja rekaman sudah kuhidupkan semenjak aku masuk ke mobilnya Galang.

"Lo masih ingat jalan rumah gue, kan?" tanyaku memastikan karena dia malah membelokkan mobil ke kiri bukannya lurus untuk ke kompleks rumahku.

Galang melirikku. "Kita ke kedai kopi sebentar."

Alisku terangkat. Aku ingin protes. Enak saja dia bertindak sesukanya. Mengajakku pulang tiba-tiba. Dan sekarang malah mengajakku minum kopi. Bisa saja dia ada niat untuk tidak memulangkanku.

Tapi aku hanya bisa diam. Kurasa protes pada Galang tak akan membuatku menang. Dia adalah orang yang tak suka diperintah, menurutku.

Tak lama kemudian, mobilnya berbelok ke sebuah kedai kopi yang cukup populer di sekolah kami. Aku sering mendengar teman sekelasku memperbincangkan kedai ini. Bahkan Gretta pernah mengajakku kemari namun kutolak karena aku malas keluar rumah.

Kami berdua turun dan memasuki kedai kopi itu. Cukup ramai dengan beberapa siswa SMA dengan berbagai seragam. Namun tak ada satu pun yang dari sekolahku. Hanya aku dan Galang.

"Lo pesen apa?" tanya Galang menunjuk daftar menu di papan tulis hitam yang tergantung di belakang meja kasir.

"Enggak..." aku terdiam menatapnya yang menatapku balik. Aku menelan ludah. Mataku memandangi menu minuman satu per satu. "Milkshake stoberi."

"Oke."

"Tunggu," ucapku menahannya yang hendak memesan di kasir. Aku mengeluarkan uang di saku rok dan menyerahkan padanya sesuai dengan harga pesananku. Matanya menatapku tak mengerti. "Ini. Uang buat minuman gue. Gue enggak mau ditraktir. Gue enggak mau ada hutang sama lo."

Galang memiringkan kepala dan menyipitkan mata. Aku tahu jika dia akan menolak uangku dan tetap akab membayarku. Tapi kalau sudah bicara soal uang, aku tak mau hanya diam. Uang cukup sensitif, bukan? "Ini," kataku meletakkan kertas bernilai itu di atas tangannya. Memaksanya untuk menerima.

"Ya udah," sahutnya dengan santai. Tak mau berdebat denganku. "Lo cari tempat duduk sana."

Aku melihat ada tiga meja yang kosong. Dua di tengah dengan untuk kapasitas empat orang. Dan satu lagi di dekat dinding dengan kapasitas untuk tiga orang. Aku memilih meja yang di dekat dinding. Posisi mejanya lebih terpojok dan agak jauh dari meja yang ramai. Kami di sini untuk berbicara mengenai rahasia, kan? Bukan untuk nongkrong santai.

Aku memperhatikan suasana kedai itu. Suasananya bisa membuat hatiku sedikit tenang dengan ditemani alunan lagu bagus yang tak kukenali. Mataku memperhatikan Galang yang berjalan menuju meja yang kutempati. Dia menarik kursi di hadapanku dan duduk.

"Jadi?" Aku memulai perbincangan. Tidak mau ada keheningan lagi yang tercipta.

Awalnya Galang berdiam dahulu beberapa detik. "Gue mau ngecek lo. Apa lo masih tutup mulut."

"Oh. Kalau lo tanya gitu, ya gue belum kasih tahu siapa pun termasuk dia," jawabku tegas. "Memangnya kenapa lo tiba-tiba nanya?"

"Soalnya Regi pernah cerita kalau dia lihat ada mobil lain sebelum dia nabrak pohon," cerita Galang. "Dari cara dia bercerita, kelihatan kalau dia masih curiga dan yakin kalau emang ada mobil lain. Yang mana mobil lain itu pemiliknya gue."

"Lo sendiri yang bilang kalau lo enggak nabrak dia, jadi kenapa lo masih takut? Kalau lo yakin lo enggak buat salah, ya udah santai aja. Iya, gue tahu waktu itu lo dalam keadaan mabuk dan bisa aja disalahkan. Tapi coba ingat, kata lo yang salah Regi. Dan Regi dalam keadaan mabuk parah," kataku berusaha menenangkan kegusaran yang terlihat jelas dari raut wajahnya.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang