Sepertinya Bunda bisa membaca pikiranku. Tepatnya tidak benar-benar membaca sih. Beliau bisa mengetahui apa yang sedang ingin kulakukan. Iya. Dari kemarin aku berpikir apa alibi yang tepat agar aku bisa kembali ke pinggir kota.
"Kamu ingat Tante Ita kan?" tanya Bunda sambil memasang popok Zacky.
Aku berdiri di ambang pintu kamar Bunda. "Ya ingat-ingat sedikit sih."
"Itu loh, Nad. Tante Ita itu sahabat baiknya Bunda waktu SMA dulu. Beliau suka banget masak. Tahun lalu buka usaha makanan dan langsung banyak yang order. Terutama Bunda. Bunda enggak sempat masak buat makan malam karena mau bantuin acara nikahan anaknya Tante Windi."
Aku masih belum menangkap apa yang dimaksud Bunda. Jadi aku hanya diam dan kembali mendengarkan. Namun Bunda tak kunjung berbicara dan malah sibuk memasang pakaian pada Zacky. "Jadi Bunda nyuruh Nadine ke sana untuk apa?"
"Untuk jemput orderan Bunda dong. Bunda order ayam suwir Bali buatan Tante Ita yang top markotop. Sama ayam serundeng. Tuh uangnya ada di atas tempat tidur." Bunda menunjuk beberapa lembar uang sepuluh ribu yang ada di atas tempat tidur.
Aku melangkah mendekati tempat tidur dan megumpulkan uang itu. "Totalnya enam puluh kan?"
"Iya. Jemput sekarang ya. Soalnya nanti Tante Ita mau pergi katanya. Dan jangan lupa titipin salam Bunda buat Tante Ita," kata Bunda menggendong Zacky kemudian beliau mengusap rambutku sebelum duduk di pinggir kasur.
Aku cukup semangat mendengar Bunda menyuruhku untuk pergi menjemput makanan pesanan Bunda itu. Alasannya? Pertama, aku selalu kebingungan untuk izin pergi keluar selaim untuk mencari buku. Toko buku yang lumayan lengkap pun ada di dekat rumah. Seperti yang diketahui, aku tidak punya teman. Jadi, siapa yang bisa kubawa namanya untuk alasanku keluar rumah? Gretta? Tidak bisa diandalkan.
Kedua, alamat Tante Ita berada di daerah pinggiran. Daerah pinggiran mengingatkanku pada dua orang : Romi dan Aninda. Kalau Romi sih aku sudah tahu alasannya berada di daerah itu. Dan aku tak perlu berpikir aneh atau takut atau cemas padanya. Sedangkan Aninda, masih tak diketahui apa pun. Aku masih mengingat penampilan terakhir Aninda di dekat hotel di sana. Maka dari itu, pergi ke rumah Tante Ita bisa membuatku menjalankan misiku untuk mencaritahu ada apa dengan Aninda.
"Ya udah Nadine pergi, ya!" ucapku menuju ruang tengah untuk mengambil kunci mobil yang ada di dekat televisi. Kutemukan Aufar tengah bermain ponsel di sofa.
"Lo mau ke mana?" tanyanya sambil mendongakkan kepala sedikit untuk melihatku yang sedang mengambil kunci di dekat televisi.
"Jemput pesanan Bunda," jawabku jujur.
"Hooo. Rumah Tante Ita kan? Ke pinggir kota? Hati-hati, ya. Kalau ketemu preman, langsung sembunyi aja. Kalau enggak, langsung pura-pura nangis. Temen gue yang cewek ketemu preman di sana langsung nangis. Terus premannya tinggalin dia."
Aku mencibir. Kukira saat Aufar mendengar aku akan ke rumah Tante Ita, dia menawarkan diri untuk ikut. Kalau hal itu terjadi, aku akan menolak keras. Secara kan aku sekaligus menjalankan misi mingintai Aninda. Kalau Aufar ikut, bisa gagal misiku.
Aku ke luar rumah dan masuk ke dalam mobil. Aku menarik napas dalam-dalam. Baiklah. Bersiap-siap. Dalam hati aku berharap tidak bertemu Romi atau preman-preman mengerikan kemarin itu.
Kukendarakan mobil dengan kecepatan rata-rata sambil mendengarkan musik lama koleksi ayah. Mendengar lagu ala Ayah sih aku tak masalah. Bisa dibilang semua musik itu seleraku. Tidak semua sih.
Mobilku memasuki bagian pinggir kota. Itu ditandai dengan jembatan kecil dengan pagar besi yang sudah berkarat. Aku mencari rumah dengan spanduk bertuliskan Ita's food yang menandakan rumah Tante Ita. Tak susah menemukannya. Rumahnya cukup besar dengan warna merah mencolok.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Keeper
Novela Juvenil[Paraduta Series #1] - COMPLETED Namaku Nadine. Aku anak baru di SMA Paraduta namun sudah mengetahui dan memegang rahasia beberapa orang yang cukup penting dan populer di sekolah baruku. Wanna know their secrets? Tapi jangan menyebarkan rahasia mere...