#42

437 97 34
                                    

Di rumah hanya ada Aufar dan Zacky. Begitu membuka pintu rumah, Aufar langsung memelototi Romi yang tengah memapahku untuk berdiri di teras. Melihat wajahku pucat, bibir bergetar dan mata memerah, Aufar langsung melayangkan berbagai pertanyaan pada Romi. Tentunya dijawab Romi hanya sekilas sembari menanyakan di mana kamarku.

Aufar yang mengerti jika keadaanku sedang tidak baik langsung menuntun Romi yang masih memapahku menuju kamarku yang ada di lantai dua. Sembari berjalan, Aufar berkata jika Bunda pergi menemui temannya untuk membahas mengenai WO untuk minggu ini dan Ayah belum pulang. Sedangkan Zacky sedang tertidur di kamar. Setelah mendudukkanku di pinggir tempat tidur, Aufar dan Romi memandangku tajam. Tidak. Memindaiku lebih tepatnya.

Romi menepuk bahu Aufar. "Bisa tolong bawakan air putih? Kalau bisa sih teh hangat," katanya dengan mata yang masih tertuju padaku.

Tumben-tumbennya Aufar menurut apa yang orang perintahkan padanya. Apalagi ini orang asing. Seingatku Romi tidak pernah sekali pun bertemu dengan anggota keluargaku. Tentu saja, dia pernah datang ke rumahku, tapi ingat kan jika dia selalu menyelinap diam-diam ke kamarku?

Aufar langsung keluar dari kamarku untuk menjalankan apa yang Romi perintahkan padanya. Aku masih mengatur napasku agar teratur dan normal. Tangan kananku menyentuh dadaku untuk merasakan detak jantungku. Tangan kiriku mencengkeram rok.

Romi berlutut di depanku untuk dapat melihat wajahku dengan jelas. "Nad? Udah agak mendingan?" tanyanya meneliti wajahku.

Aku mengerjapkan mata ketika mendengar dia bertanya. Bibirku sudah terbuka, namun aku tak bisa mengeluarkan suara apa pun. Melihat itu, Romi langsung menyuruhku untuk tidak berbicara terlebih dahulu.

Aufar muncul lagi masuk ke kamarku dengan gelas biru di tangannya. Dia menyerahkan gelas itu padaku. "Air hangat aja enggak apa, ya? Soalnya enggak tahu di mana Bunda letakin tehnya di dapur."

Aku menerima gelas itu dan dengan tangan yang masih bergetar, aku menyeruput sedikit air hangat dalam gelas. Ketika air hangat yang kutelan melewati tenggorokan, rasanya menenangkan. Dan juga menghapus rasa besi yang masih terasa sedikit di lidahku. Di mobil Romi tadi padahal aku sudah diberikan minum, namun entah kenapa rasa darah itu masih saja tercecap di lidah.

Romi mulai menjelaskan apa yang terjadi ke Aufar. Aufar menyimak dengan baik dan terkejut. "Apa perlu telepon Bunda atau Ayah?" tanyanya padaku.

Aku mendongak dan memelototinya. "Jangan," kataku berbisik. Dengan cepat aku menggenggam tangan kanan Aufar dengan kedua tanganku. Aku memandangnya untuk memohon. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Aydah dan Bunda. Kejadian tadi pastinya akan membuat mereka lebih-lebih khawatir padaku.

"Oke. Oke." Aufar menepuk-nepuk pelan tanganku untuk menenangkanku.

Terdengar suara tangisan Zacky di lantai satu. Kurasa dia tidur di kamar Ayah dan Bunda. Aufar menatapku dan Romi bergantian seakan-akan dia kebingungan harus apa.

"Enggak apa. Biar gue yang di sini jagain kakak lo," kata Romi seraya bangkit dan tersenyum pada Aufar untuk meyakinkannya.

Aufar menyipitkan matanya pada Romi. "Gue entar ke sini lagi," katanya sebelum pergi dari kamarku. Dia mendorong pintu kamarku agar terbuka lebih lebar, menahan pintu dengan pot bunga yang ada di atas meja belajarku dan meninggalkannya terbuka seperti itu.

"Nad. Gue tahu lo masih terguncang, tapi biar gue jelasin apa yang penjual di kedai tadi bilang ke gue," kata Romi menarik napas. "Mereka bilang kalau mereka benar-benar enggak tahu kenapa bisa isi gelasnya kayak gitu. Ternyata pesanan lo masih ada di mereka. Di sana ada pemiliknya dan dua pegawai. Katanya ada satu pegawai lagi tapi udah pulang."

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang