#29

509 107 18
                                    

Gretta menundukkan kepalanya sangat dalam. Dia duduk di tepi tempat tidurnya. Aku berdiri di hadapannya sambil melipat tangan di depan dada. Mataku tajam menangkap gerak-geriknya. Dari dia sesekali melirikku takut-takut, menarik napas dalam-dalam, memainkan jam tangan di pergelangan tangan kanannya dan membuat suara dari kakinya ke lantai. Kalau dilihat-lihat, posisi kami bagaikan anak yang ketahuan oleh orang tuanya.

Aku mendongak dan menarik napas dalam-dalam. Hah. Ini sangat memusingkanku. Terlalu banyak hal yang terjadi dan aku masih berusaha membuat diriku tidak terlalu memikirkan itu semua. Namun tidak bisa. Walaupun masalah Gretta ini benar-benar tidak membuatku dalam masalah—oh, tunggu. Apakah aku akan ditarik dalam masalah Gretta ini karena aku mengetahui rahasianya? Bisa-bisa aku juga turut terkena amarah orang tuanya karena ikut merahasiakan ini. Mungkin juga Ayah dan Bunda ikut marah dan mengomel sedikit.

"Nadine." Gretta berbisik memanggilku. "Lo jangan kasih tahu nyokap bokap gue dan siapa pun, ya?"

Aku memicingkan mata. Tentu saja aku tidak akan membocorkan rahasia ini. Walaupun jika aku ingin membocorkan rahasia ini, aku tidak tahu harus bilang apa pada orang tuanya. Orang tua Gretta cukup menakutkan bagiku. Mereka orang yang cukup serius.

Aku menyeret kursi di dekat meja belajarnya ke hadapan Gretta. Kemudian duduk dan menyilangkan kaki. Tangan kanan ku masukkan ke dalam saku jaket, berusaha mencari-cari tombol on untuk recorder yang ku bawa. "Ayo. Cerita sekarang. Karena gue udah tahu siapa orangnya. Jadi lo enggak bisa lagi nyembunyiin apapun. Gue mau lo jujur."

Gretta menarik napas. "Awalnya tuh gue pacaran sama Adam pas tahun lalu. Bisa dibilang backstreet, soalnya enggak ada yang tahu. Karena gue yang ngebet pengen pacaran sama Adam. Tapi Adamnya enggak mau. Jadi akhirnya dia terima gue dengan syarat kalau hubungan kita harus dirahasiakan."

Aku mengarahkan telapak tanganku ke depan wajah Gretta. "Bentar. Lo ngebet mau pacaran sama dia? Kenapa memangnya?"

Gretta menatapku dengan tatapan aneh. Seakan-akan dia menghadapi orang bodoh. Mungkin dia juga mengira jika pertanyaan yang ku ajukan itu terdengar konyol. "Ya karena gue suka sama dia."

"Hah?" Aku kaget. Pasalnya selama ini aku tidak pernah mendengarnya bercerita tentang cowok seperti itu. Gretta memang pernah beberapa kali berpacaran dengan cowok-cowok yang aku tidak kenal—karena saat itu aku belum pindah. Namun dia selalu berkata jika para cowok itu yang mengejar dan menembaknya. Dan Gretta mengiyakan hanya untuk mencoba-coba, walaupun tidak bertahan lama.

"Tahun lalu lo kan pacaran ya entah berapa kali, gue lupa. Lo pernah cerita sama gue. Waktu lo pacaran sama orang lain, lo pacaran juga sama Adam?"

"Enggak. Gue memang udah ngejar-ngejar Adam dari awal dia masuk. Tapi gue baru diterima di pertengahan semester kedua tahun lalu."

Aku memiringkan kepala dan memikirkan jangka waktu hubungan mereka. "Terus masih pacaran sampai sekarang?"

Gretta terdiam sejenak. Dia memainkan ujung selimut di tempat tidurnya. "Enggak."

"Kapan kalian putus?"

"Enggak lama setelah kasus lo nyelamatin Regi waktu itu."

Sebenarnya aku bingung bagaimana harus bertanya pada Gretta mengenai dirinya. Aku tidak tahu pertanyaan macam apa yang terdengar pantas di telinga. Maka dari itu aku memilih diam sebentar. Padahal di dalam benakku sedang menyusun kata-kata. Mungkin karena tidak mendengarku bertanya, Gretta mendongak dan menatapku. Aku balik menatapnya dan masih bergulat di benakku.

"Ehm..." Gretta membuat suara. Dia memandangi sekeliling kamarnya. "Lo jangan diam gitu deh. Kalau lo diam, itu lebih menakutkan ketimbang lo marah-marah."

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang