#18-1

1.7K 249 7
                                        

Chapter ini panjang bener, euy. 4000 words, malah lebih. Makanya aku bagi jadi 2 chapter biar enggak pening bacanya. Hehe. Enjoy.


Hidungku mencium bau yang aneh namun familiar. Seperti bau balsem?

Mataku terbuka perlahan. Yang kulihat saat membuka mata adalah kaca mobil bagian depan yang menghalangi butir-butir air yang jatuh.

Kesadaranku sudah utuh. Aku berada dalam sebuah mobil. Mobil milik siapa?

Kepalaku menoleh ke kanan dan aku langsung menemukan jawabannya. Adam tersenyum padaku sambil menutup balsem di tangannya.

"Akhirnya bangun juga," katanya.

Aku menatapnya kebingungan. "Ehm... kenapa gue di mobil lo?"

"Memangnya lo maunya di mana?"

Hal yang terakhir kuingat adalah... aku bertemu dengan... Rendra? Ah, ya. Benar. Aku bertemu lelaki berengsek itu. Kemudian pandanganku langsung gelap.

"Iya. Lo tadi pingsan." Adam menatapku. Dia seakan-akan bisa mengetahui isi pikiranku.

Aku menelan ludah. Kaget mendengar jika aku tadi pingsan. "Berapa lama?"

Adam melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Sekitar... setengah jam?"

Aku memandang ke jendela di sebelah. Menyadari jika mobil milik Adam berada di dekat gerbang depan komplek rumah kami. Ingat tidak kalau aku dan Adam tinggal di komplek perumahan yang sama? Mataku memperhatikan hujan mengguyur jalanan. Langit hampir gelap karena kelabu awan hujan dan pertanda menjelang malam.

"Gue harus pulang," ucapku melihat jam di mobil. Tanganku merogoh isi tas. Mencari ponsel. Kupandangi layat yang menunjukkan beberapa panggilan tak terjawab. 5 panggilan tak terjawab dari Bunda. Habislah hidupku. Apa yang harus kukatakan pada Bunda?

Kurasakan mobil mulai bergerak. Adam menyetir perlahan seperti tidak akan membiarkan mobil tergelincir karena air hujan. "Gue antar," katanya.

Jempolku menekan simbol kontak di ponsel. Pandanganku tertuju pada nama Sarah di sana. Apa aku harus memberitahunya jika Rendra datang menemuiku? Kurasa aku harus memberitahunya karena menurutku itu penting. Namun... di sisi lain, aku tak mau membuatnya khawatir.

Telepon? Tidak?

"Lo kenapa bisa pingsan?" Tiba-tiba Adam bertanya.

Aku menelan ludah lagi. Pikiranku dengan cepat mencari kebohongan untuk menjawabnya. Tapi tak ada satu pun yang terlintas. Aku memilih untuk diam saja. Berharap lelaki itu tak memaksaku untuk menjawab.

"Gue nemuin lo enggak sadarkan diri di dekat halte. Sendirian," kata Adam membelokkan kemudian di persimpangan yang mengarah ke rumahku. "Untung gue kenal lo dan lo kenal gue. Jadi gue tolongin."

"Makasih," ucapku seperti hampir berbisik. Namun kata itu kuucapkan dengan tulus. Tak bisa kubayangkan jika aku ditemukan oleh orang asing. Syukur-syukur kalau aku dibawa ke rumah sakit.

Adam melirikku dan melempar senyum. "Enggak masalah. Berarti kita seri ya. Lo pernah nolongin gue. Gue pernah nolongin lo."

Aku ikut tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba aku teringat saat lelaki di sampingku itu tak sadarkan diri saat aku dan Aufar menemukannya. "Lo... kenapa bisa sampai mabuk berat waktu itu?" Seingatku Adam tidak pernah berbicara sama sekali dengan rombongan Regi yang sudah terkenal jika sering mengadakan pesta.

"Pelarian," jawabnya singkat. Kemudian dia berdehem. "Tekanan semakin kuat. Gue butuh pelarian. Mabuk dan merokok adalah pelarian gue."

"Tekanan? Tekanan kayak apa?" tanyaku tak mengerti.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang