#41

435 91 5
                                    


Di jam istirahat pertama biasanya aku akan membeli beberapa roti dengan isi yang bervarian dan memakannya di kelas atau di kursi taman. Kadang ada yang bergabung bersamaku sekitar satu atau dua orang. Aku sebenarnya tidak masalah sih jika ada yang mau makan bersamaku selama mereka tidak mengganggu dan bertanya-tanya hal yang aneh.

Sekarang ini aku baru saja membayar roti-roti yang kubeli di kantin. Kantin sudah cukup ramai tapi untungnya tadi aku tidak berdesak-desakkan. Aku langsung menjinjing kantong plastik berisi roti-roti itu menuju ke kelas, karena aku rencananya ingin memakannya sembari membaca novel yang Bunda belikan untukku.

Ketika keluar dari kantin, Gretta menghampiriku. Dia menatapku lekat-lekat. Matanya bagaikan memindaiku dari atas ke bawah. Lalu dia mengguncang bahuku. "Gimana? Lo baik-baik aja, kan?"

Aku meringis lalu tersenyum. "Baik, Ta. Lo gimana?"

Gretta tertegun mendengarku yang menanyakan balik kabarnya. "Oh. Iya gue baik." Lalu dia berdehem sembari melirik sekitar kami. "Benar-benar baik, kan? Enggak ada yang ngomongin lo aneh-aneh gitu?"

Membicarakanku aneh-aneh itu apa termasuk dengan apa yang Pak Esa katakan padaku? Tapi sepertinya itu tidak perlu kubicarakan pada Gretta karena hal itu sudah kubereskan. Buktinya hingga sekarang Pak Esa tak ada memanggilku lagi untuk menemui beliau. Dan sepertinya tidak ada surat peringatan yang dikirimkan pada Ayah dan Bunda karena orang tuaku masih bersikap biasa-biasa saja. "Enggak ada sama sekali. Gue benar-benar heran dan bersyukur sekaligus. Itu kerjaan lo, kan? Kok bisa sih?"

Gretta mengibaskan tangannya. "Ah, gampang. Hal kecil doang. Jangan lupa, Romi juga ikut bantuin kok."

"Oh, ya?" Dugaanku ternyata benar. "Makasih, ya, Ta."

Gretta terkikik. "Udahlah. Selow aja. Oke?"

Aku tersenyum lalu menggamit lengannya untuk membawanya menuju pilar koridor. "Lo beneran baik-baik aja, kan?"

Gretta menatapku. Aku yakin dia mengerti ke mana arah pertanyaanku. Dia menghela napas dan menarik tanganku ke dekat daerah koridor yang sedang kosong. "Nad, sebelumnya jangan marah, ya?"

Aku mengerutkan kening. Tunggu. Ada apa lagi ini?

"Sebenarnya sebelum masuk sekolah tuh gue udah lakuin... aborsi, Nad," kata Gretta sedikit berbisik sembari melirik kanan kiri.

Aku terbelalak. "Hah? Udah?"

"Iya."

Aku mundur selangkah dan memindai tubuhnya dengan cepat. Memang usia kandungannya masih sangat muda karena masih di awal, maka dari itu tidak terlihat efeknya di tubuhnya. Begitu pula dengan dia yang sudah melakukan aborsi. Tidak ada efek yang terlihat dari tubuhnya jika dipandang sekilas.

"Gimana?" tanyaku menelan ludah. Tidak bisa membayangkan bagaimana prosesnya. "Maksudnya lo baik-baik kan habis udah ngelakuin itu?"

Gretta bersandar di dinding. "Ya... kadang terasa nyeri gitu. Kadang sakit perut kayak awal menstruasi gitu juga. Kadang mual. Ya gitu deh, Nad."

Aku menatapnya dengan iba dan kagum sekaligus. Jujur aku tak bisa membayangkan jika aku berada di posisinya. Mengambil keputusan itu dan menjalaninya sendiri saja, dia sudah benar-benar hebat. Tentunya Gretta juga harus merasakan efek yang terjadi setelah melakukan hal itu. Dan kemungkinan adanya hal terburuk yang bisa jadi menimpanya. "Ta, lo kuat bener, ya."

Gretta tersenyum. Lalu dia maju untuk mendekatiku dan mencengkeram bahuku. "Nad, lo juga kuat. Kuat banget. Bisa nahan semuanya sendirian juga. Gue mana bisa dibandingin lah sama lo."

Aku tersenyum mendengarnya. Entah kenapa mataku terasa panas. Aku jadinya melepaskan cengkeraman bahunya dan mengipas-ngipas di depan wajahku dengan tangan kananku. "Ta, lo kenapa bikin suasana sekarang jadi sedih sih."

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang