#01

4.4K 390 6
                                    

Aku mendongakkan kepalaku. Menatap gedung tiga tingkat di hadapanku yang berbentuk U yang sangat bagus. Saat ini aku berdiri di lapangannya yang luas, yang mana terdapat lapangan basket, lapangan futsal, taman bunga dengan banyak kursi kayu panjang dan taman boga.

Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat aula besar yang menembus ke taman depan dan parkiran. Gretta berjalan dari aula menuju arahku dengan senyum manisnya. Wajahnya yang cantik dengan rambut lurus tergerai di bahunya. Bisa dikatakan, jika Gretta, sepupuku termasuk primadona di sini.

"Gimana?" tanyanya sambil menatap gedung sekolah. "Enggak nyesel kan sekolah di sini?"

Aku terkekeh mendengar itu. "Kayaknya enggak bakal nyesal."

Gretta tersenyum lebar, menampakkan giginya yang rapi dan putih bagai perawatan atau iklan pasta gigi. Dia merangkul bahuku dan mengajak melintasi taman bunga. "Lo masuk kelas berapa jadinya, Nad?"

Aku meliriknya sekilas lalu memandang ke depan. Kami berjalan menuju koridor. "2 IPA-2."

"Udah dapat temen?"

"Sekelas tadi baik kok sama gue. Cuma gue lupa nama anak-anaknya. Cuma ingat ada Astrid, Marcel dan Fahmi. Soalnya gue duduk di dekat mereka."

"Wah. Nadine, denger. Tiga temen yang lo sebut namanya tadi itu adalah sejenis anak-anak dengan pergaulan bebas. Gue enggak membatasi pergaulan lo, tapi gue cuma ingatin aja. Jangan sampai salah memilih teman."

Aku memutar bolamata. "Lo udah kayak Bunda aja. Persis banget apa yang Bunda tadi pagi bilang."

Gretta hanya tertawa menyahut omonganku. Kemudian mengalirlah pembicaraan mengenai sekolah ini. Dari kelas-kelas, ekstrakulikuler, kantin dan hal-hal semacam itu. Hingga kami berdua dicegat oleh seorang perempuan berponi yang membawa buku catatan kecil di tangannya.

"Harap berhenti sebentar," kata perempuan itu tersenyum manis padaku.

"Ya ampun, Vinda, jangan sekarang deh." Gretta berusaha mendorong pelan bahu perempuan yang bernama Vinda itu. Namun usaha Gretta sia-sia saja. Gretta pun menghela napas. "Nadine, ini Vinda. Dia adalah anggota klub mading di Paraduta. Jadi sudah menjadi tradisi kalau ada anak pindahan, akan selalu diwawancara untuk artikel New Student."

Vinda tersenyum padaku. "Halo, Nadine. Gue Vinda. Seperti yang dibilang sepupu lo, gue mau wawancara lo. Pertanyaannya sedikit."

Aku tak bisa menolak. Vinda sepertinya adalah jenis perempuan yang pantang menyerah. Aku hanya mengangguk saja. Vinda mulai bertanya seperti apa prestasiku di sekolah yang dulu. Well, aku cukup berprestasi dalam debat bahasa Inggris. Dia juga bertanya mengenai hobi. Hobiku adalah mengambil gambar dan merekam apapun yang ada. Aku selalu membawa kamera kecil dengan kualitas bagus dan recorder di tas atau jaket, tapi aku tak bilang mengenai ini padanya.

Foto yang kuambil pernah dimuat di beberapa majalah nasional. Itu cukup membanggakan walah Bunda hanya menggelengkan kepalanya melihat taktikku salam mengambil foto hingga harus berguling-guling.

Vinda hanya menanyakan hal-hal biasa saja. Tidak terlalu mengarah ke privasi. Aku cukup lega karena dia memang menghargai privasi. Kemudian, Gretta membawaku berkeliling lagi di jam istirahat pertama.

"Gue enggak ganggu istirahat lo, kan?" tanyaku merasa tak enak.

Gretta terkekeh. "Lo kayak berhadapan dengan siapa aja deh. Biasa aja. Engga kok. Sini deh gue mau kasih tahu lo tentang anak-anak di Paraduta."

Kami berada di kantin. Kantin Paraduta sangat besar karena menampung tiga angkatan sekaligus. Meja-meja kantin pun teracak untuk tiap angkatan, jika aku lihat dari badge kelas di lengan seragam.

Gretta memesan jus apel untuknya dan es teh untukku karena kami berdua ternyata cukup kenyang untuk makan. Kami memilih duduk di dekat para penjual, kata Gretta lebih enak duduk di sini jika ingin memantau.

"Yang duduk di sebelah sana," Gretta menunjuk dengan dagunya, "itu rombongan klub dance. Rombongannya si Helena. Helena tuh yang pakai bandana pink. Cantik-cantik emang anak klub dance."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Lo masuk klub apaan, Ta?"

"Gue? Gue masuk klub basket putri. Gue enggak hobi klub-klub kecewekan gitu," jawab Gretta tersenyum pada penjual yang membawakan pesanan kami.

Aku berterimakasih pada penjual. Saat aku hendak bertanya pada Gretta, seseorang duduk di sebelah Gretta. Seorang laki-laki tinggi dengan rambut berantakan yang bahkan melewati telinga. Pakaiannya berantakan layaknya anak nakal di sekolah lamaku. Dia tersenyum padaku.

"Lo Nadine Andiria?" Dia bertanya.

Saat aku mengangguk, Gretta berbicara. "Mau ngapain sih, Rom?"

Aku melirik badge kelas laki-laki itu. Berwarna hijau dengan lambang II. Berarti dia seangkatan denganku.

"Gue Romi," kata laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Dari pandanganku, dia berkenalan bukan hanya untuk modus atau main-main.

Aku menjabat tangannya dan menyebutkan nama.

"Udah tahu," sahutnya melepas jabatan tangan. "Gue udah tahu tentang lo. Lumayan jago fotografi, benar? Fotonya pernah dimuat di majalah, benar?"

Aku mengangguk.

"Gue nawarin buat gabung di klub fotografi Paraduta. Sebelum lo kemungkinan besar direkrut sama klub mading buat jadi fotografer andalan mereka karena foto-foto selalu didapatkan dari anak fotografi," ujar Romi dengan cepat.

Gretta meneguk jus yang dia minum. "Romi tuh anak fotografi, Nad. Tepatnya sih ketua klub fotografi. Hari pertama masuk sekolah dan langsung ditawarin masuk ke klub, itu menurut gue luar biasa lho."

"Potensi lo enggak boleh disia-siakan. Walau pun lo udah jago, tapi pastinya lo harus belajar lagi, 'kan? So, lo mau gabung bareng klub fotografi?" tanya Romi menatapku dengan tajam. Bahkan dia tak memberikan iming-iming apapun padaku. Tak menjelaskan apa saja yang ada di klub itu. Hal-hal yang membuatku langsung mengatakan 'ya'.

Aku menelan ludah. Berhadapan dengan orang yang sangat serius seperti dia membuatku cukup gugup. "Gue mikir-mikir dulu, ya? Boleh? Soalnya gue mau masuk klub pelajaran gitu."

Romi mengangguk. "Oke. Enggak masalah. Gue tunggu kabarnya. Thanks buat waktunya. Sori kalau ganggu." Lalu laki-laki itu beranjak pergi menjauhi kantin.

"Itu Romi. Seangkatan lo. Ketua klub fotografi. Anaknya cukup bandel. Sering bolak-balik BK. Tapi pinter. Sering bolos tapi masuk peringat tiga besar. Biasalah orang jenius sih gitu," cerita Gretta mengibaskan tangannya. "Dan ganteng. Fans-nya banyak juga."

Aku tersenyum mendengarnya. Gretta kembali memberitahu mengenai anak-anak di Paraduta.

Seperti Regi, yang duduk di tengah kantin bersama rombongannya, yang mana Gretta hanya tahu Julian, Eka, dan Leon. Regi adalah anak populer angkatan kelas 2. Cukup nakal. Dia adalah ketua klub futsal. Dengan wajahnya yang tampan, tak heran banyak perempuan yang meliriknya terus.

Lalu ada Andra. Sama seperti Regi, juga punya rombongan yang populer di angkatan kelas 3. Gretta kenal semua di rombongan itu karena seangkatan.

"Tapi yang paling dikagumi tuh Andra, Kenzo, Galang, Hadi sama Kamal. Kenzo sama Galang tuh semacam playboy," kata Gretta.

Pembicaraan mengenai anak-anak Paraduta pun menerus hingga bel masuk berbunyi.

"Intinya lo harus pinter-pinter pilih teman," pesan Gretta ketika kami akan berpisah.

Aku tersenyum. "Gretta, santai. Di sini gue rasa gue enggak perlu cari teman. Apalagi sahabat. Santai."

Dan dimulailah hari-hariku sebagai siswa Paraduta. Di mana aku akan mengetahui sebagian rahasia besar di sekolah ini.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang