#40

437 86 18
                                    


Entah bagaimana perisitiwa yang kemarin terjadi padaku itu seperti hanyalah angin lewat. Bukan. Bukan begitu maksudnya. Dari yang kulihat, tidak ada yang membicarakan hal itu baik secara bisik-bisik maupun langsung di sekitarku.

Apa memang tidak tersebar luas, ya? Namun jika kuingat-ingat memang ada beberapa orang yang melihat itu, di antaranya kebanyakan anggota klub fotografi. Ketika aku melewati beberapa dari anggota klubku, mereka bahkan menyapaku dan mengajakku bicara sepatah dua patah kata. Benar-benar bagaikan tidak ada yang terjadi kemarin pagi di hari pertama sekolah itu.

Ketakutanku sirna. Aku berpikir aku bakalan mampus jika satu sekolah tahu. Karena kau berpikir satu sekolah bakal tahu. Itu bukanlah gosip kecil yang bisa dilupakan begitu saja. Makanya aku menyimpan itu baik-baik. Bahkan ketika rahasiaku itu tersebar, sebenarnya kan tidak tersebar penuh. Hanya setengah saja.

Seperti yang kupikirkan, orang yang menyebarkan rahasiaku seperti sedang membuatku agar orang-orang berpikir jelek mengenaiku. Bisa dibayangkan kan jika mendengar seorang gadis SMA sudah tidak perawan lagi? Apalagi gadis itu tidak sedang berpacaran atau tidak terlihat menggoda lelaki kan?

Namun aku merasa jika orang-orang yang mengetahui rahasiaku itu—beberapa anggota klub fotografi—bagaikan tahu jika hal yang terjadi padaku itu adalah sebuah pemaksaan. Aku tersadar ketika menemukan jika mereka memandangku dengan sedikit... iba?

Ah, sudahlah. Ini suatu keajaiban karena satu sekolah tidak tahu hal ini. Apa ini adalah ulah Romi dan Gretta? Karena kemarin kan mereka sibuk berdiskusi mengenai solusi untukku. Bahkan ketika aku hendak izin pulang dengan alasan sakit kemarin, mereka masih saja berdiskusi hingga Gretta mencatat di ponselnya.

Tapi kenapa... aku dipanggil lagi ke ruangan kepsek? Di jam istirahat pertama ketika aku hendak ke kantin, wali kelasku memanggilku. Aku berpikir oh mungkin saja ada sesuatu dengan nilai atau pelajaranku. Begitu juga mungkin yang dipikirkan teman-teman sekelasku. Aku langsung kebingungan ketika wali kelasku membawaku menuju ruang kepala sekolah.

Kini Pak Esa duduk di kursinya di balik meja kerjanya yang terdapat susunan file-file dan juga komputer yang hidup. Aku duduk di kursi yang telah disediakan. Tanganku sudah menghidupkan recorder yang tersembunyi di balik jas almamater sekolah. Beliau memandang layar komputer.

"Kamu tahu kenapa kamu dipanggil kemari?" tanya Pak Esa masih menatap layar komputer.

Aku menggeleng pelan. "Jujur, Pak, saya tidak tahu."

Pak Esa bergumam tak jelas mengenai sesuatu. Kemudian beliau memutar monitor komputer agar mengarah padaku. Di layar komputer itu terdapat foto dari kertas yang kemarin tertempel di depan pintu klub fotografi. Iya, kertas yang berisi rahasiaku itu.

Aku mengerjapkan mata. Memandang tak percaya dengan apa yang kulihat. Bagaimana bisa kepala sekolah mempunyai foto dari kertas itu? Apa memang sudah tersebar satu sekolah? Tapi... ada yang aneh.

"Sebenarnya hal ini tampaknya tidak diketahui oleh semua siswa," kata Pak Esa sembari mengarahkan monitor komputer padanya. Beliau memainkan pulpen yang ada di atas meja. "Namun bagaimana jika ini diketahui semua siswa bahkan hingga ke luar sekolah?"

Aku terdiam. Sebenarnya dari kemarin aku memang memikirkan itu. Makanya tadi pagi saat aku memasuki lingkungan sekolah, aku sudah mempersiapkan diriku atas apapun hal buruk yang akan terjadi padaku. Namun tak ada yang terjadi.

Melihatku yang hanya diam saja, Pak Esa melanjutkan, "benar-benar hal yang bagus karena ini tidak diketahui banyak siswa. Di kalangan guru pun tidak ada yang mengetahui ini. Mungkin hanya saya saja yang tahu."

Hal itu membuatku kebingungan. Bagaimana Pak Esa mengetahui hal itu? Kertas itu difoto seseorang. Bahkan saat kertas itu tertempel di depan pintu klub fotografi. Seseorang memang sudah mengambil foto. Tapi siapa hingga mengirimkan pada Pak Esa?

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang