#19

1.3K 177 7
                                    

warning : banyak narasi gaje

                  ♤

"Ayo dong. Sekali aja deh."

Aku menghela napas dengan berat. Seperti baru saja menjalani kehidupan yang berat. Padahal aku hanya sudah bingung dan sakit kepala menghadapi Astrid dan teman-temannya. Aku sudah kehabisan alasan untuk menolak ajakan mereka untuk jalan-jalan bersama atau kegiatan-kegiatan mereka yang tak penting. Aku lebih memilih duduk diam di ruang klub fotografi atau malah di rumah walaupun Bunda nantinya pasti akan menyuruhku untuk membersihkan rumah atau menjaga Zacky, ya tapi tak masalah.

Aku mengenakan tali tas ke pundak. Kupandang mereka berempat satu per satu. Kemudian mataku menatap Astrid. "Maaf banget. Gue enggak bisa. Gue enggak pernah punya waktu buat nongkrong. Pertama, karena gue bukan orang yang suka menghabiskan waktu buat nongkrong. Kedua, karena gue selalu punya kesibukan lain di klub dan di rumah. Ketiga, gue enggak punya uang buat nongkrong-nongkrong karena uang jajan gue terbatas."

Keempat, karena aku tidak suka dengan mereka berempat. Bukan tidak suka dengan mereka sih tepatnya. Tapi aku tidak suka dengan pergaulan mereka. Mereka adalah anak-anak orang kaya, terlihat sekali. Sepatu dan tas bermerek. Rambut yang terlihat sehabis perawatan berkala di salon ternama. Omongan seputar keluarga-keluarga ternama dan kaya raya. Kalau aku ikut bergabung dengan mereka, otomatis aku harus merubah gaya hidupku untuk bisa sejajar dengan mereka. Yang mana membuatku harus meminta uang jajan lebih banyak dari Ayah. Sedangkan Ayah dan Ibu adalah orang yang sangat hemat dalam keuangan. Tapi aku tidak mungkin menjelaskan hal seperti ini pada mereka. Karena ya pasti mereka tidak akan mengerti mengenai kondisi kami yang sama-sama berbeda.

"Ih, kok lo gitu sih," rutuk Alya melipat tangan ke depan dada. Dia menatapku. "Kita kan nongkrong atau jalan-jalan gitu ya buat melepas penat selama jam pelajaran. Emang kepala lo gak pusing apa habis belajar mulu?"

"Ya pastinya pusing. Tapi cara gue buat melepas penat tuh enggak sama kayak kalian. Banyak cara lain kok buat melepas penat. Misalnya kayak menghabiskan waktu bareng keluarga. Atau nonton film di rumah," jawabku mengedikkan bahu. Aku menatap wajah mereka satu per satu. Dan juga mulai menganalisa dengan pengetahuan analisis wajah yang tidak kuketahui sama sekali. Raut wajah mereka hampir sama. Seperti orang yang mendengar hal yang tidak mereka sukai. Menurutku aku berbicara tanpa menyinggung mereka. Ya, kan?

Astrid mengangkat kedua tangannya, seperti gestur menyerah. "Oke. Oke. Gue ngerti omongan lo."

Aku menghela napas lagi. "Gue gak ada maksud buat nyinggung kalian ya, kalau kalian menangkap omongan gue tadi itu membuat kalian tersinggung. Kalau merasa tersinggung, gue minta maaf." Aku terdiam sejenak. Kemudian menyadari kenapa aku bersikap melow begini. Biasanya aku akan bersikap tidak peduli dengan apa yang mereka rasakan atau pikirkan.

Mereka berempat kemudian berkata kalau mereka mengerti. Aku rasanya ingin kembali berbicara untuk membuat mereka mengerti mengenai apa yang kumaksud. Tapi di sisi lain, aku bingung harus bicara apa lagi dan kenapa pula aku harus repot-repot membuat mereka mengerti. Kalau mereka tidak suka denganku, toh tidak masalah, bukan? Mungkin nantinya hanya mengefek di saat kalau aku harus kerja sama kelompok dalam suatu pelajaran.

Ya sudahlah. Aku memilih untuk bersikap tak peduli. Aku berjalan keluar dari kelas, menuju lobi depan. Ponselku bergetar, tanda ada chat masuk. Layarku menampilkan pop up chat dari Bunda yang mengatakan jika beliau tidak bisa menjemputku seperti yang dijanjikan karena ada pertemuan ibu-ibu yang tak pernah aku mengerti. Aku mengembuskan napas dan membalas tidak apa-apa. Aku bisa pulang naik ojek online.

Aku menyeret langkahku menuju depan gerbang. Ponselku di tangan bersiaga untuk membuka aplikasi ojek online. Mataku menatap jalanan yang padat dengan jemputan anak sekolahanku. Aku bergeser agak jauh dari gerbang agar memudahkan driver nanti berhenti. Baru saja aplikasi ojek online di ponselku terbuka, seseorang merangkul bahuku dengan erat. Aku terkesiap. Kepalaku otomatis menoleh ke orang tersebut. Mataku melebar ketika menemukan siapa yang merangkul bahuku, yang kini malah sedikit mencengkeram bahuku dengan kukunya yang panjang.

The Secret KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang