4.

462 239 58
                                    

Seorang cowok tengah terduduk lesu di salah satu bangku rumah sakit dengan pandangan kosong. Melihat ibunya terbaring lemah dengan beberapa alat medis yang terpasang di sebagian tubuhnya semakin membuatnya terpuruk.

Jika ada pilihan untuk memilih takdir, ia sudah memastikan tidak akan mau menerima takdirnya tersebut. Namun itu hanyalah sebuah pengandaian yang tak akan bisa ia dapat.

Hidup dengan keluarga yang lengkap memang hanya mimpi bagi seorang Aryan Mielano, ayahnya sudah lebih dulu menemui Sang Khaliq sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

Lagi-lagi ia menghela napas gusar dan sesekali mondar mandir untuk mengurangi rasa kegelisahannya. Sudah beberapa hari ibunya dirawat karena penyakit leukimia yang dideritanya.

Drrt Drrt ....

"Halo."

"Jalan yuk, Ar, gue bosen dirumah."

"Hmm, emang lo mau kemana, Al?"

"Terserah kemana aja, yang penting jalan."

Mendengar itu ia bimbang memilih yang mana, di satu sisi ibunya tengah terbaring lemah dan sedang melawan penyakitnya. Namun di satu sisi juga ia tidak sampai hati jika menolak permintaan gadis itu.

"Ar..."

"Gimana? Jadi nggak?"

"Lo kenapa sih?"

Samar-samar suara Alya kembali terdengar dengan nada kesalnya dan berhasil membuyarkan lamunan Aryan.

"Hmm, kalo malam ini gue nggak bisa, Al, kapan-kapan aja, ya."

"..."

"Gue lagi sibuk soalnya." Aryan langsung memutus sambungan telepon itu. Akhirnya Aryan memilih menemani ibunya dan tidak mengabulkan permintaan Alya untuk kali ini.

"Maafin gue, Al." gumamnya.

Beberapa menit kemudian Aryan mendapat panggilan dari dokter spesialis ibunya untuk membicarakan sesuatu. Ia hanya berharap untuk hal baik untuk ibunya.

##

Aryan menatap amlop di tangannya dengan gelisah. Ia sangat takut bagaimana nasib ibunya jika ia tidak mampu mengurusi administrasinya. Ia berfikir untuk mencari pekerjaan part time untuk mengatasi masalah ini.

"Mikir, Ar, punya otak, kan, lo," ucapnya pada diri sendiri. Setelah memasukkan amplop tersebut ke dalam saku ia masuk ke ruangan ibunya.

"Bunda, gimana sekarang?" tanyanya sembari duduk di kursi samping ibunya yang terbaring. Wanita itu masih seperti biasa, raut wajah yang pucat dengan hembusan napas yang berat.

"Udah mendingan, habis makan sama minum obat tadi."

"Kamu kenapa murung begitu, bunda baik-baik aja kok, nggak usah khawatir." Dina menangkap air muka putranya yang terlihat gusar.

"Aryan cuma takut, Bun, Aryan ngerasa udah gagal buat jagain bunda." Tanpa terasa air matanya sudah menetes.

Dina tersenyum. "Kamu udah hebat, abang udah berhasil jadi anak bunda yang terbaik. Terimakasih, kamu udah jaga dan ngerawat bunda dari dulu." Tangannya terulur mengusap surai anak laki-lakinya itu.

"Bunda harap kamu bisa jadi orang sukses nantinya, bunda dukung apapun keputusan Abang." Aryan menggenggam tangan ibunya dengan erat, air matanya sudah mengalir sedari tadi.

"Bunda harus sehat, Aryan nggak mau bunda sakit," ucap Aryan dengan suara parau. Dina mengangguk lalu tersenyum menatap Aryan tulus. Keduanya berpelukan dengan suasana haru yang menyelimutinya.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang