11.

285 177 42
                                    

"Dasar anak nggak tahu diri!" Farhan sedang menahan emosi sekarang. Di depannya duduklah seorang Dion dengan wajah datar.

"Kamu sudah berjanji bakal keluar dari geng tidak jelas itu,"

"Kamu mau buat Papa malu, hah?"

Sedari tadi Dion hanya memasang wajah datarnya. Sesekali ia menyentuh lukanya yang masih memar. Ia tidak mau ambil pusing atas marahnya ayahnya itu.

"Kamu lihat, mama kamu cemas dari tadi, dasar anak berandalan," Farhan masih menggebu-gebu. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan Dion.

"Udah ngomongnya?"

Plak ...

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Dion yang penuh luka. Ia meringis lalu mengusap pipinya kasar.

"Mau kamu apa, hah?" suara Farhan sudah meninggi hingga menggema keras di ruangan tersebut. Sementara Dion masih tetap bergeming. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan Liana dengan wajah cemasnya.

"Pah, udah," pinta Liana lalu menghampiri Dion yang terduduk di sana. Sesaat Liana ingin menangkup wajahnya, Dion lebih dulu beranjak pergi dan membuat Liana terhenyak.

"Maafin Dion, sayang," lirih Farhan memeluk istrinya.

"Nggak apa-apa, Pah, kita juga harus paham sama sifatnya,"

"Kamu juga jangan terlalu keras sama dia." lanjutnya. Mau tak mau Farhan mengangguk menanggapi ucapan istrinya itu.

Di lain tempat Alya masih sibuk dengan pikirannya. Sejauh ini ia kembali yakin jika dugaan tentang kakaknya itu benar adanya.

"Gue harus cari tahu." gumamnya.

Dengan niat karena rasa penasarannya ia memberanikan diri untuk memasuki kamar Dion yang letaknya berada di sebelah kamarnya.

Saat memegang knop pintu itu ia menarik tangannya kembali. Ia berfikir jika telah terlalu jauh, namun bukan Alya Anggina jika ia terus memikirkan rasa penasarannya. Ia mengambil napas sebentar dan menghembuskannya perlahan.

Cklek...

Alya mulai melangkah di ruangan yang minim cahaya tersebut. Seketika aroma parfum mahal Dion menyeruak ke dalam indra penciumannya.

Ia menatap ranjang yang tidak jauh darinya, dan ia tidak menemukan siapapun di sana. Dengan langkah pelan ia mencoba mendekat ke arah meja tempat pisau-pisau itu berada.

Ia begitu yakin jika Dion benar-benar psikopat. Alya menyipitkan matanya saat menemukan ruangan kecil yang berada di pojok dengan pencahayaan temaram itu.

Ctek...

Lampu utama tiba-tiba menyala dengan terang, Alya terlonjak saat mendapati Dion sudah di belakangnya dengan wajah datar seperti biasa.

"Cari apa?" tanyanya dingin.

Alya meneguk saliva dengan susah payah. "Itu...gu- gue-...

Dion mengernyitkan dahi sembari menatap Alya yang hanya diam. "Keluar!"

"Oh, o-oke." Alya dengan langkah tenang berlalu dari kamar tersebut, namun belum sampai keluar kerah baju belakangnya ditarik kasar oleh Dion. Membuat sang empu terlonjak di tempat.

"Ambilin gue makan, gue laper." Alya melotot dan secara refleks ia menganggukkan kepalanya cepat.

##

Setelah dia kepergok Dion saat berada di kamarnya semalam. Ia semakin canggung dengannya, seperti pagi ini hanya ada keheningan dalam meja makan tersebut. Kini hanya ada mereka berdua, orang tuanya juga sudah berangkat kerja sejak tadi.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang