"Abang nggak kerja?"
"Belum berangkat aja, bun. Lagian masih pagi juga," ucapnya sembari mengangkat panci berisi sup ayam buatannya.
Aroma sup hangat itu sampai ke hidung Dina, membuat perutnya tiba-tiba lapar.
"Biar bunda aja, Bang. Kamu siap-siap, gih,"
"Ini udah selesai kok, bun. Bunda makan dulu ya, kita sarapan bareng,"
Dina tersenyum penuh haru, "makasih ya, Nak,"
Aryan membalas dengan anggukan dan senyum lebarnya. Pagi-pagi sekali Aryan sudah berkutat di dapur, sedari kecil ia sudah pandai mengolah bahan makanan. Tidak perlu takut jika makanan buatannya akan tidak enak.
Keduanya makan bersama di suasana pagi yang sejuk itu. Sebentar lagi Aryan akan berangkat kerja namun, ia teringat ibunya yang masih harus menjaga kesehatan, akhirnya dia memasak.
"Abang kan udah kelas 12, abang harus bisa bagi waktu antara belajar dan kerja. Jangan sampai kamu lupa kewajiban untuk belajar," tutur Dina.
"Iya, bun. Abang bakal tetep belajar kok."
"Oh iya bun, soal abang jadi ketua OSIS itu, bunda setuju kan?"
"Pasti kalo bunda mah, tapi semua keputusan ada di tangan kamu. Kalo kamu beneran mau ya kamu harus usaha,"
"Lagi pula dari cerita kamu soal keyakinan kakak kelasmu itu membuat bunda tambah yakin kalo kamu bisa,"
Aryan mengangguk mengerti, keraguannya berangsur lenyap berubah menjadi keyakinan dan kesiapan hati.
"Kalo misalnya abang ga kepilih, bunda jangan sedih ya,"
"Ya enggak lah, apapun hasilnya nanti pasti yang terbaik buat kamu,"
"Kamu belum ada pengalaman organisasi kan?"
Aryan mengangguk.
"Kamu harus dengerin masukan juga nasihat dari guru atau para alumni. Jangan sekali-kali egois sama keputusan kamu. Ingat ya, meskipun kamu pemimpin tapi nggak seharusnya kamu nuntut mereka untuk setuju dengan kemauan kamu."
Lagi-lagi Aryan mengangguk menyerap perkataan ibunya itu. Ia akan selalu mengingatnya sampai kapanpun.
"Kamu juga harus menghargai anggota-anggota dan siswa siswi lain, kamu bisa memberikan contoh yang baik juga pada mereka."
"Bunda ngerti kamu bisa paham apa yang bunda bilang tadi,"
Aryan mengulas senyum menatap Dina lekat. Ia percaya bahwa kekuatan dan dukungan seorang ibu memang sangat diperlukan. Apalagi bagi para remaja yang sedang berada masa labilnya. Support sistem dari orang terdekat seperti dari keluarga memang sangat luar biasa.
Namun tidak bisa dipungkiri remaja yang sudah tidak mempunyai orang tua pun masih bisa berjuang sendiri. Mereka lebih mengerti akan support sistem dari dalam diri kita sendiri. Mereka berjuang sendiri melawan kejamnya dunia yang tidak main-main.
Ibaratnya mereka berjalan tanpa pegangan apapun sedangkan kita yang masih memiliki keluarga, ayah, ibu, saudara sudah sepatutnya untuk bersyukur. Perbanyak mengucap syukur bukan hanya sibuk membandingkan diri dengan orang lain.
Jika ingin membandingkan diri maka lihatlah sisi positifnya, jadikan perbedaan itu sebagai ajang motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Bukan malah meratapi nasib sampai menyalahkan takdir Tuhan, kita hidup untuk mencari penghidupan bukan terpuruk dalam lingkaran kesedihan yang tak berkesudahan.
Aryan bangkit dan memeluk wanita itu, merasakan hangatnya pelukan ibu yang telah lama tidak ia rasakan.
"Jangan sedih, awali pagi dengan semangat baru."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARYAN [ Revisi ]
Teen Fiction"Hmm, gua punya info penting buat lu?" Alya yang tertarik menghentikan langkahnya dan menatap Aryan penuh tanya. "Apaan?" Aryan mendekatkan wajahnya ke arah Alya "Rasa sayang gua sama lu masih sama malah makin tambah" bisiknya. Alya melotot sedang...