28.

205 119 160
                                    

Seorang cowok tengah terduduk lemas di bangku rumah sakit. Keadaannya kacau dengan mata sembab dan wajah pucatnya. Meninggalkan kebahagiaan Alya malam itu, Aryan tengah berjuang berdoa untuk kesembuhan ibunya.

Dua hari yang lalu Dina mengalami penurunan yang drastis dan Aryan yang sempat bingung lantas mengikuti saran dokter spesialisnya untuk perawatan lebih baik di rumah sakit luar kota. Tanpa meminta persetujuan dari ibunya ia nekat membawa Dina ke luar kota.

Tanpa berpikir panjang dan ia hanya memikirkan kondisi ibunya yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Hingga baru hari ini ia menyadari kecerobohannya, ia tidak mengetahui seberapa besar biaya administrasi pengobatan tersebut.

Cowok itu mengetukkan kepalan tangannya ke depan dahinya beberapa kali, seolah menjadi manusia bodoh yang tidak mampu memprediksi akan resiko apa yang akan terjadi. Terasa sulit untuk melewati ini semua, cobaan untuknya benar-benar membuatnya berada pada titik terendah dalam hidupnya.

Dina, wanita satu-satunya yang ia miliki di dunia ini. Akankah Tuhan mengambilnya hingga menyisakan dirinya seorang diri di dunia yang kejam ini. Berkali-kali ia melupakan tentang itu dan berpikir jika rencana Tuhan lebih baik. Namun kembali lagi kegelisahan itu enggan beranjak dari benaknya.

Sudah kesekian kalinya ia menghela nafas beratnya. Ingin sekali jika keajaiban datang menghampirinya dan mengambil semua kesedihan yang ia tahan sampai saat ini.

"Lo harus kuat, Ar, lihat bunda lo lagi berjuang lawan penyakitnya. Lo nggak pantes buat sedih kayak gini, lo harus bangkit," batin Aryan berkata seolah bagian itu yang hanya mampu menguatkannya.

Aryan memejamkan kedua matanya sejenak, menenangkan pikiran yang hanya ada kesedihan dan keputusasaan di sana. Kembali ia menghirup udara yang masih saja di dominasi aroma obat dan khas rumah sakit di indra penciumannya.

Cowok itu menghembuskan napasnya bersamaan dengan tekadnya yang sedikit demi sedikit terkumpul sebagai penyemangat untuk dirinya sendiri.

Di ranjang itu ibunya terbaring lemah dengan beberapa alat medis menempel di beberapa bagian tubuhnya. Inilah yang ia benci, alat-alat itu yang selalu saja ia temui dan semakin membuatnya muak ketika melihatnya. Ia merasa tidak terlalu percaya pada semua alat itu, karena sampai sekarang ibunya masih saja kembali ke ruangan ini. Ruangan yang sudah hampir dua tahun belakangan selalu rutin ia kunjungi.

Tatapannya beralih pada Dina yang masih setia dengan mata terpejamnya. Ia mendekat lantas meraih telapak tangan yang sedikit pucat itu dan menggenggamnya erat.

"Bunda apa kabar?" tanyanya pelan.

"Abang kangen, Bun, Bunda kapan bangunnya?"

"Bunda baik-baik aja kan di sana?"

"Abang harap Bunda nggak sakit lagi. Abang mau kita sama-sama lagi, Bun."

Air mata yang sempat ia tahan akhirnya luruh seraya dengan genggaman tangan itu yang semakin mengerat. Bahunya bergetar naik turun dengan isakan yang tidak lagi tertahan.

Aku mohon Tuhan jangan ambil bunda dari Aryan. Aku berharap semoga hal baik segera datang dan dengan perlahan aku mampu menghadapi serta menjalani ini semua.

Harapannya dalam hati bersamaan dengan air matanya yang mengalir entah keberapa kalinya.

Sesekali ia menyeka matanya yang penuh dengan air mata, perlahan ia mulai tenang walaupun masih ada sesak di dadanya. Tatapannya beralih pada ponsel yang tergeletak di atas nakas meja itu. Sudah beberapa hari ia tidak menyentuh benda pipih itu, entah mengapa ia begitu enggan untuk mengfungsikan benda pintar tersebut.

Dengan ragu ia mengambil dan menghidupkan ponselnya terlihat masih ada beberapa persen daya dan mampu membuat ponsel itu menyala.  Ada belasan panggilan masuk yang tidak terjawab dan ternyata dari Alya, ada juga pesan masuk dari teman-teman lainnya.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang