13.

315 187 124
                                    

Dengan hati-hati ia membaringkan tubuh mungil Alya ke tempat tidur dengan dominasi warna biru laut tersebut. Perlahan ia menarik selimut itu dan menyelimutinya dengan lembut. Tatapannya jatuh pada wajah teduh Alya yang sedang tertidur pulas. Memang tidak sulit membuat gadis itu terlelap, mungkin karena efek kelelahan menangis tadi hingga menimbulkan rasa kantuk baginya.

Tangannya terulur membelai lembut surai gadis itu. Gadis yang selama ini berhasil membuatnya uring-uringan jika tidak ada kabar, gadis yang jutek dengan keadaan moodnya yang tidak pernah stabil. Semua itu telah ia pahami sejak lama.

"Gue nggak mau ada yang nyakitin lo,"

"Gue bakal pasang badan apapun yang terjadi, gue rela sama diri gue sendiri asalkan itu yang terbaik buat lo, Al,"

Baru gadis ini yang mampu membuatnya kalah akan arti cinta. Merasa rendah dengan kata rindu yang sebagian kaum remaja katakan. Terlalu mencintai atau obsesi memiliki ia juga tidak tahu. Bagaimana isi hati itu ia juga tidak pernah mengerti. Entah apa yang mendorongnya, ia mengecup singkat kening gadis yang tengah terlelap itu.

"Alya nya udah tidur, ya?" tanya seseorang di ambang pintu yang membuatnya terkejut.

Aryan tersenyum kikuk. "Hmm, udah tante."

"Makasih, ya, Ar, udah bantuin Alya." Liana menyentuh bahu cowok yang lebih tinggi itu.

Aryan mengangguk. "Iya tante, selagi Aryan bisa pasti saya usahakan," ucapnya mantap. Liana menatap Aryan lalu beralih ke wajah Alya yang terlelap di sana.

"Tante percayakan Alya sama kamu, Ar," Aryan mengangguk sebagai jawaban, ia juga tidak terlalu mengerti maksud dari ucapan wanita itu.

"Bantu dia keluar dari masa lalunya, dia sudah lama terjebak dalam perasaannya sendiri. " Liana merasakan dadanya yang bergemuruh. Setelah meninggalkan kamar putrinya, ia mengantar cowok itu sampai depan gerbang.

"Memangnya ada apa dengan masa lalu Alya, Tan?" Aryan memberanikan diri untuk mengetahui lebih jauh tentang masa lalu gadis itu. Bagaimanapun ia harus segera mengetahuinya.

"Nanti tante kabarin buat cerita sama kamu."

"Kita atur waktu aja." lanjutnya. Setelahnya Aryan mengangguk dan berpamit untuk pulang.

Di perjalanan keadaan lumayan lengang, lalu lintas yang biasa padat seketika berubah siang ini. Sama dengan hatinya yang masih kosong tanpa mengetahui apapun yang menyangkut gadis itu.

Otaknya berputar seraya menerka-nerka bagaimana keadaannya di masa lalu. Apakah hal buruk terjadi padanya ataukah sebaliknya? Dia tidak tahu.

Ia memutuskan untuk tidak kembali ke sekolah, karena waktu sudah lumayan siang dan akan sia-sia jika ia kembali dan beberapa menit kemudian waktu pulang telah tiba.

"Bunda udah minum obatnya?" tanya Aryan sambil memasukkan beberapa potong pakaian ibunya itu ke dalam almari.

"Belum, Bang, bunda kehabisan stok obat," ucap Dina.

Aryan menghampiri Dina dan duduk disampingnya. "Kenapa nggak bilang, Bun, yaudah Aryan ke apotek dulu, ya."

Dina mengangguk dan menatap kepergian putranya itu. Dengan segera ia mengeluarkan motornya dan menancap gas menuju apotek.

"Jadi berapa, Mbak?"

"130 ribu, Mas." Aryan mengeluarkan uang dan menyodorkannya kepada penjaga apotek tersebut. Selepas itu ia melangkah keluar apotek namun tanpa sengaja ia menabrak seseorang di depannya.

Brukk...

"Sorry, gue nggak sengaja," ucap Aryan lalu mendongak menatap lawan bicaranya itu.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang