31.

186 101 41
                                    

"Jadi, bunda masih di sana, Ar?" tanya Alya dengan wajah khawatirnya.

"Iya, besok bunda operasi, Al, doain semoga lancar, ya,"

Alya mengangguk lantas meraih jemari cowok itu dan menggenggamnya erat. Setelah mendengar semua cerita dan penjelasan cowok itu, kini ia mulai mengerti betapa sulitnya kehidupan cowok itu. Sebagai manusia dengan rasa kemanusiaan yang ia miliki, gadis itu ikut merasakan kesedihan yang Aryan rasakan.

"Gue doain yang terbaik buat bunda sama lo juga."

"Makasih."

"Rencananya gue mau ke sana lagi besok-...

"Gue ikut boleh, nggak?"

"Beneran lo mau ikut, masalahnya seharian penuh gue di rumah sakit, Al,"

"Tapi gue khawatir sama bunda, Ar?"

Cowok itu menghela napas. "Lain kali aja, ya, lagian belum liburan juga."

Alya memberengut sedikit kecewa dengan jawaban Aryan. Bagaimanapun ada benarnya juga tentang penolakan cowok itu, kembali lagi dengan trauma yang gadis itu miliki membuat Aryan berpikir dua kali untuk mengiyakan permintaannya.

"Nggak apa-apa, kan?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya pelan "Lo hati-hati ya-...

"Hp lo juga lo nyalain, biar gue nggak khawatir."

Mendengar itu Aryan mengembangkan senyumnya. "Emang khawatir banget, ya?"

"Ar, gue serius. Nggak usah bercanda mulu."

"Iya, nanti gue telepon tiap hari biar lo nggak khawatir lagi."

"Ya nggak tiap hari juga, Ar."

Aryan terkekeh melihat wajah kesal gadis itu. "Makasih Al-...

Ada jeda beberapa detik sebelum cowok itu melanjutkan kalimatnya, "nggak ada perempuan yang khawatirin gue selain bunda tapi sekarang, ada lo."

"Apaan sih lo, nggak usah alay. Gue cuma khawatir-...

"Apapun itu gue nggak peduli, lo khawatirin gue aja itu udah cukup, Al,"

Alya mengalihkan pandangan ke arah lain. Tidak ingin  menatap cowok itu yang kini juga tengah menatapnya lekat. Ada apa dengan dirinya ia sendiri juga tidak mengerti, mengapa ia begitu khawatir tentang keadaan cowok itu. Aryan bukanlah siapa-siapa untuknya. Namun mengapa perasaannya seakan menolak atas peenyataan itu.

Keheningan menyelimuti keduanya hingga beberapa detik, hanya ada sepoi angin yang berhembus melalui celah jendela di ruangan itu. Dari arah luar juga terdengar kicauan burung yang beterbangan menandakan cuaca sore yang tidak buruk seperti biasanya.

"Gue boleh meluk lo nggak?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut gadis itu, setelahnya ia merutuki dirinya sendiri atas ucapannya itu.

Lain dengan Aryan yang mengembangkan senyumnya, ia merasa jika ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya. "Boleh aja tapi jangan lama-lama, ya."

"Kenapa?" Alya mengernyit.

"Takut baper," cowok itu melebarkan senyumnya lantas mendekat dan membawa tubuh itu ke dalam dekapannya. Sangat hangat itulah yang keduanya rasakan. Berbeda dengan pelukan sebelumnya, biasanya Aryanlah yang menghibur Alya jika gadis itu mengalami masalah namun kali ini Alya yang bertindak sebagai penghibur atas apa yang terjadi pada cowok itu.

Tidak ada perkataan atau kalimat bijak yang ia tuturkan, mengingat Alya yang tidak terlalu mengerti tentang pembenaran dalam menghibur orang. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam dan membiarkan keheningan yang lagi-lagi mendominasi keduanya.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang