24.

179 102 25
                                    

Kantin masih terlihat ramai ketika waktu istirahat tiba. Alya yang sudah tidak sabar mengantri pesanan mie ayamnya hanya mendengus kesal. Bagaimana tidak, antrian orang di depannya masih lumayan panjang membuatnya semakin menggeram tidak sabar.

"Duduk aja, biar gue yang tunggu," ucap Aryan.

"Nggak."

Alya masih tetap keukeuh berdiri di samping Aryan sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Ia mengedarkan pandangan berniat untuk mencari tempat yang kosong, namun hampir semua bangku itu telah terisi dan tidak ada lagi bangku kosong sekedar untuk mereka duduk.

"Ke taman aja gimana?" tawar Aryan setelah menangkap ekspresi wajah itu yang sedikit kesal.

Alya mengangguk dan mengikuti cowok itu untuk menuju ke arah taman dan berakhir makan mie ayamnya di sana. Taman itu terdapat beberapa kursi dan meja yang mayoritas para siswa siswi gunakan untuk makan, belajar, atau sekedar nongkrong biasa.

"Disini lebih enak, suasananya juga beda," ucap Aryan.

Alya hanya berdehem sekilas lantas melahap makanannya dengan lahap, karena ia berangkat pagi dan tidak sempat untuk sarapan alhasil perutnya keroncongan sedari tadi.

"Pelan-pelan, Al," Aryan yang melihat gadis itu makan dengan lahap hanya memperhatikan hingga ia tidak menyadari jika makanan di depannya sama sekali belum ia sentuh.

"Lo liatin apaan sih, cepet makan!" ucapan Alya menyadarkan cowok itu dan memulai memasukkan mie itu ke dalam mulutnya.

"Kenapa makin hari makin cantik, sih," gumam Aryan dengan senyum tipis di bibirnya.

"Apa?"

"Eh, nggak kok. Nggak ada apa-apa-...

"Ini, mie nya Mang Cecep enak," lanjutnya lantas tersenyum kikuk.

Alya mengangguk menanggapi pujian Aryan, karena memang mie ayam buatan Mang Cecep tidak ada tandingannya. Keduanya masih sibuk menikmati makanan tersebut mengabaikan lalu lalang orang yang melirik mereka dengan tatapan bermacam-macam.

Namun keduanya sama sekali tidak mengindahkan hal itu. Memang sudah menjadi konsekuensi bagi Alya karena berteman dengan Aryan si cowok famaos dan juga segudang kecerdasan di otaknya itu.

"Tadi gimana ujiannya?" tanya Aryan.

Alya manggut-manggut. "Biasa aja si, materi yang lo prediksi kemarin keluar semua. Makasih ya."

"Hmm, syukurlah kalo gitu."

"Ntar kalo udah selesai ujian gue traktir deh, lo kan udah bantuin gue belajar."

"Boleh banget tuh." Aryan mengembangkan senyumnya.

"Mm, giliran makanan aja gercep lo."

"Kan rezeki, Al, pamali nolak pemberian orang."

"Iyain, umur nggak ada yang tahu."

"Lah, mulut lo astaga. Gini-gini gue juga masih pengen hidup, Al."

"Yang bilang lo bosen hidup siapa?"

"Nggak ada sih, gue juga masih pengen bahagiain bunda. Gue mau bunda lihat gue pas wisuda nanti."

Alya yang menyadari air muka cowok itu yang berubah hanya tersenyum tipis. "Gue tahu lo kuat, Ar, bunda lo juga pasti bangga punya anak kayak lo," gadis itu menepuk pelan bahu Aryan.

"Iya, tapi balik lagi sama takdir kita semua nggak ada yang tahu."

"Nggak usah overthingking gitu, semua orang punya masalah dan jalan keluar sendiri pada akhirnya."

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang