35

143 46 26
                                    

Aryan terbangun karena perutnya yang berbunyi. Ia mengerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan nyawa setelah tidur lelap sore itu. Pandangannya tertuju pada jam kecil di samping ranjangnya, ternyata sudah pukul empat sore. Setelah kesadarannya kembali penuh ia membawa kakinya ke kamar ibunya. Namun ia tidak mendapati ibunya di sana.

"Bunda ngapain di luar?" tanyanya menghampiri Dina yang duduk di kursi depan rumah.

"Bunda mau cari angin segar, Bang, suntuk di kamar terus. Tadi bunda lihat abang tidurnya pulas banget, abang kecapekan ya?" Dina mengelus surai putranya dengan lembut.

"Iya bun, sedikit kecapekan tadi. Tapi sekarang udah agak baikan sih, Bun, bunda nggak usah khawatir,"

"Syukurlah, kamu minum vitamin yang banyak biar sehat terus,"

Aryan mengangguk menatap ibunya dengan senyum tulus. Tanpa sengaja ia melihat uban yang mulai tumbuh di rambut ibunya. Walaupun tidak banyak namun sudah terlihat jelas perbedaan tentang warna rambut tersebut.

Tangannya terulur dan menggenggam telapak tangan dingin itu. Menyalurkan kehangatan yang saling membutuhkan. "Makasih ya, Bun, udah selalu ada buat Aryan," ucapnya pelan.

"Bunda yang makasih sama kamu, kamu udah sabar menjaga bunda sampai sekarang."

"Oh iya, kamu belum cerita soal biaya operasi bunda kemarin,"

Aryan mengerjap mungkin memang hari ini ibunya tahu atas kebenaran semuanya. Setelahnya Aryan menceritakan semua yang ia alami. Langkah yang ia ambil tempo hari mungkin belum sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah.

"Maafin abang, Bun, ambil keputusan ini tanpa persetujuan bunda,"

Dina mengangguk mengerti. "Mama yang minta maaf, kamu harus bekerja keras lagi buat nanggung semuanya,"

"Nggak, Bun, Aryan nggak papa. Yang penting bunda sehat dan kita bisa sama-sama terus,"

"Iya, terima kasih ya, Bang, mulai kapan kamu bekerja full time itu?"

"Mulai minggu depan, Bun, mungkin selama liburan ini Aryan full kerja di sana,"

Dina mengangguk dan tersenyum tulus
"Kamu semangat ya, kalo ada apa-apa omongin sama bunda."

"Iya, Bun,"

Sore itu menjadi saksi bagaimana Dina menjadi sosok ibu yang mampu memaklumi keputusan anaknya. Kemarin Aryan bingung untuk menjelaskan semuanya ia mengira jika ibunya tidak setuju dan akan menyalahkannya. Namun ternyata semua salah, Dina sama sekali tidak memberatkan apa yang sudah ia putuskan di hari itu.

"Masuk yuk, Bun, anginnya udah mulai dingin," ajak Aryan sembari menuntun ibunya untuk masuk ke dalam tak lupa ia juga menutup pintu mengingat hari yang sudah mulai malam.

Selepas makan malam Aryan kembali berkutat dengan buku pelajarannya. Sudah banyak pelajaran yang ia lewatkan karena menemaniibunya pengobatan tempo hari yang membuatnya tertinggal beberapa materi pelajaran. Walaupun hasil belajar sudah dibagikan ia tetap ingin mengulanginya mengingat sebentar lagi ia akan memasuki kelas 12.

Kelas dimana semua pembelajarannya diperbanyak dan berbagai rangkaian ujian sebagai kegiatan sebelum kelulusan tiba.

Pandangannya beralih pada sebuah map tebal dengan logo sekolah sebagai gambar sampulnya. Laporan hasil belajar di kelas sebelas selama ini. Dua semester kali ini ia berhasil menduduki ranking pertama. Usahanya selama ini membuahkan hasil namun ia masih perlu meningkatkan lagi belajarnya karena ia mendapat urutan kedua dari semua anak seangkatannya.

"Anjir, nilai gua lemah banget di sosiologi," gumamnya.

Sosiologi dengan semua teorinya, tidak jarang banyak yang kesulitan dalam memahami ilmu sosial tersebut. Termasuk Aryan yang sedikit bingung dengan materi mata pelajaran di dalam Ilmu Pengetahuan Sosial itu.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang