Hari berganti dengan begitu cepatnya, semua kepedihan juga ikut hilang bersama waktu. Sementara kebahagiaan masih milik mereka yang mempunyai keyakinan akan makna hidup.
Sudah satu minggu lebih, cowok dengan seragam SMA itu bekerja paruh waktu di salah satu cafe di pusat kota. Keadaan ekonominya yang menengah ke bawah, menuntutnya untuk mencari penghasilan. Itu juga ia lakukan untuk pelunasan administrasi rumah sakit tempat bundanya dirawat.
Hidup di lingkungan yang sederhana memang mampu membuat hatinya tergerak untuk lebih bijak dalam menggunakan pikirannya. Berbeda dengan remaja saat ini yang lebih dominan menghabislkan uang orang tua untuk berfoya-foya. Just kidding✌
Namun Aryan harus pintar dalam memutar otak untuk berusaha mencukupi hidupnya. Selama ini Dina lah yang membanting tulang untuk mencari uang. Ia bekerja di salah satu toko roti di pusat kota, karena kepandaiannya dalam membuat kue ia menjadi koki khusus di sana. Namun setelah divonis menderita penyakit itu, Dina sering tidak masuk kerja di sana.
Pernah suatu hari Dina terpikir untuk menurunkan bakat membuat kue itu kepada putra semata wayangnya. Namun bukanlah mau belajar Aryan malah menolak keras dan beralasan jika ia tidak menyukai memasak. Ia juga tidak terlalu terampil dalam mengolah makanan, baginya ia lebih baik mengeluarkan uang daripada harus turun langsung ke dapur dan berkutat di sana.
Cowok dengan seragam kafenya itu begitu cekatan dalam bekerja, baginya menjadi pelayan tidak terlalu buruk. Toh, itu pekerjaan halal dan tidak merugikan orang lain. Yakinlah, kita tidak akan berhasil jika mengikuti gengsi tanpa adanya batasan.
Sementara di lain tempat Alya tengah membantu Mbok Tarti membuat kue, entah kenapa ia begitu bersemangat untuk membuatnya. Ia berniat ingin memberikannya kepada bunda Dina. Sudah lama ia tidak berkunjung setelah Dina keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.
"Enak nggak, ya, Mbok?"
"Pasti enak, Non, tadi kan sudah sesuai resep."
"Hmm, semoga aja, Mbok."
Ditengah kesibukannya keduanya dikejutkan dengan kedatangan Liana dan Farhan yang baru saja pulang dari kantor.
"Lagi buat apa, Al?"
"Hehe ini, Ma, lagi coba buat kue."
"Wah pasti enak tuh, nanti jangan lupa sisain buat mama, ya."
"Oke siap, Ma," Alya mengacungkan jempolnya.
"Oh iya, kakakmu mana, Al?"
"Nggak tahu, Ma, kayaknya belum pulang." Alya memang belum menjumpai Dion sesiang ini, entah kemana kakak tirinya itu pergi ia tidak tahu.
"Tadi Papa mau bicara penting sama kakakmu," ucap Liana sambil meminum jus yang baru saja ia ambil dari dalam freezer.
"Mungkin agak sorean, Den Dion pulang nyonya," itu Mbok Tarti yang bersuara.
"Iya, Bi, nanti bilangin ke Dion ya, Bi."
"Iya, Nyonya."
Pemanggang kue modern itu berbunyi menandakan kue di dalamnya sudah masak. Aroma khas kue brownis menyeruak ke indra penciumannya.
"Wah, tolong bungkusin ya, Mbok, aku siap-siap dulu," ucap Alya sembari mencium kue tersebut.
"Iya, Non."
Dengan paper bag di tangannya ia memasuki taksi yang sudah menunggu di depan pagar rumahnya.
"Ke Perumahan Alamanda ya, Pak," ucap Alya memberi tahu alamat yang ia tuju. Sopir taksi tersebut mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARYAN [ Revisi ]
Teen Fiction"Hmm, gua punya info penting buat lu?" Alya yang tertarik menghentikan langkahnya dan menatap Aryan penuh tanya. "Apaan?" Aryan mendekatkan wajahnya ke arah Alya "Rasa sayang gua sama lu masih sama malah makin tambah" bisiknya. Alya melotot sedang...