36

133 62 268
                                    

Acara pensi SMA 6 dua jam lagi akan dimulai. Pensi yang dicetuskan oleh para siswa khususnya alumni yang baru lulus kemarin. Hans dan kawan-kawannya menjadi pelaku utama dalam acara tersebut.

Saat ini Aryan tengah bersiap untuk menghadiri pensi. Padahal niatnya tidak ingin pergi namun karena bujukan, tapi lebih tepatnya paksaan Dhika akhirnya Aryan menyerah. Mengiyakan walaupun sama sekali tidak tertarik.

Manusia yang tidak menyukai keramaian itu biasanya lebih memilih tidur di rumah daripada datang ke acara pensi yang akan ramai seperti biasa.

Karena pensi yang diadakan tidak terlalu resmi sehingga tidak ada dress code khusus yang wajib dikenakan bagi para tamunya. Aryan bisa bernapas lega karena hal itu.

Ponselnya bergetar ada notifikasi pesan masuk di sana.

Alya
Lo beneran ikut pensi?

Me
Iya, ini mau berangkat.

Alya
Oh, yaudah.

Me
Kenapa?

Alya
Nggak kok.

Me
Lo, baik-baik aja kan?

Alya menggigit bibir bawahnya cemas, bagaimana menjelaskan keadaannya yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja itu.

Alya
Gua baik-baik aja, gua juga lagi siap-siap ke sana.

Me
Oh syukurlah, sampe ketemu di sana ya.

Alya
Iya.

Setelah selesai bersiap Alya turun dari kamarnya. Ya, Alya nekad untuk datang di acara pensi tersebut. Berbekal undangan dari Revan tempo hari, ia berjalan pelan menuruni tangga. Sampai di ruang makan ia mendapati Dion yang mungkin tengah makan malam terlihat sebuah piring kosong di hadapan cowok itu.

"Mau kemana lo?"

Alya menghentikan langkahnya menatap Dion sekilas, "Ada acara..."

"Nggak!" sergah Dion. Ia mendekat lalu mencekal tangan gadis itu. Menyeretnya kembali ke atas dengan sangat tidak berperikemanusiaan.

Alya memberontak. Tentu saja, gadis itu sudah mencoba melepas tangan besar di pergelangan tangannya. "Lo apa-apaan sih, lepasin gua," desisnya sengit.

Dion menghela napas, tatapannya masih tajam seakan mampu menusuk ke dalam mata gadis itu. "Lo nurut atau gua bilang ke bokap nyokap soal kejadian tadi," ancamnya terdengar serius.

Kedua bola mata Alya sukses membola.

"Apa?" Dion mengendikkan dagunya.

"Gua cuma mau dateng ke pensi sekolah, nggak usah lebay deh lo," Alya menghempas tangan Dion dengan kasar.

"Gua juga udah sehat. Mending simpen energi lo buat yang lain." Alya geram dengan sikap kakaknya itu.

Dion terdiam tidak menanggapi sepatah katapun ucapan itu. Tatapannya hanya datar namun masih tidak mau lepas dari kedua manik Alya.

Dion mendekat dan spontan Alya beringsut mundur. Tatapan tajam cowok itu semakin membuatnya takut.

"Kalo itu mau lo, itu terserah. Tapi kalo ada apa-apa jangan sampai lo bawa nama gua, paham!" bisiknya dengan penuh penekanan di setiap kalimat. Setelah itu Dion berbalik dan melenggang pergi.

Sementara di luar rumah seorang cowok sudah berdiri sambil menyender pada mobilnya, ia beberapa kali mengetukkan sepatu mahalnya ke halaman rumah besar itu. Menunggu memang sangat membosankan namun, jika tidak ada kesabaran di dalamnya semua akan sia-sia.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang