38

118 54 139
                                    

Cowok dengan seragam khas karyawan kafe itu masih sibuk membersihkan lantai. Karyawan lain sebagian sudah pulang karena jadwal shifnya yang kebetulan berakhir.

Entah pagi, siang, maupun malam suasana kafe seperti biasa. Ramai akan pengunjung yang selalu berdatangan. Ditengah kegiatannya hal tak terduga tiba-tiba terjadi.

Brakk...

Ember berisi air yang Aryan gunakan untuk mengepel lantai sudah terdampar mengenaskan dengan air mengalir kemana-mana. Aryan menatap nanar ember tersebut.

"Sorry...

Seorang cowok dengan setelan rapi berlalu di hadapannya, "gua buru-buru," ucapnya kemudian.

Dia adalah Revan yang langsung berlalu meninggalkan Aryan yang hanya diam.

Tuh orang emang cari gara-gara, batinnya.

Ia menghela napas panjang, lantai yang hampir selesai ia bersihkan sekarang menjadi basah kembali karena genangan air kotor tersebut.

Mungkin malam ini menjadi malam panjang baginya. Cowok itu kembali menggerakkan alat pel dan mulai menggosok lantai tersebut. Kaosnya sudah berpeluh sedari tadi, padahal pekerjaannya hampir selesai namun, karena ada kejadian tidak diinginkan membuatnya bersabar untuk saat ini.

Di luar rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Malam yang tadinya terasa panas seketika sejuk karena air langit tersebut.

Pekerjaan yang awalnya berat itu sekarang telah selesai ia kerjakan. Aryan bersiap untuk pulang mengingat waktu sudah hampir larut. Keadaan kafe juga berangsur sepi.

Ditengah langkahnya matanya memicing ketika mendapati seseorang yang sangat ia kenal tengah duduk sendiri di kursi dekat jendela.

Benar saja ketika Aryan menghampiri ternyata dia adalah Alya.

"Alya," yang dipanggil mendongak.

"Eh, lo udah mau pulang?" Tanya Alya.

"Sekarang bukan itu yang penting..." Aryan menarik kursi dihadapan Alya dan duduk di sana.

Aryan menatap Alya lekat. "Lo ngapain di sini?"

"Gu-gua mampir aja tadi,"

"Habis dari mana emang?"

Alya berpikir keras, sebenarnya ia memang niat ke sini untuk menemui cowok itu. "Nggak dari mana-mana sih,"

Aryan mengernyit, "lo baik-baik aja kan?"

Alya mengerucutkan bibirnya lantas meletakkan kepala di atas meja. Sebelum itu ia menyambar jaket yang Aryan pegang sebagai bantalan.

"Gua abis nangis, Ar," gumamnya.

"Iya, tahu kok. Ini aja mau nanya, lo udah ngomong duluan,"

"Emang kelihatan banget, yah?"

"Dikit sih."

Aryan memajukan kursi dan ikut menenggelamkan kepalanya di lipatan lengan. Dari sana ia bisa melihat wajah gadis itu yang kini malah memejamkan matanya.

Damai, itulah kata yang pas untuk Alya saat ini. Meninggalkan cerocosnya yang kerap kali ia dengar, kebawelan Alya saat tidak mau belajar, sampai penolakan gadis itu saat di ajak berolahraga.

Mengingat itu membuat Aryan merasa tidak sabar untuk kembali ke sekolah. Bertemu Alya setiap hari juga mendengar suaranya yang terasa menyenangkan.

"Eh, kok lo ikut tidur sih?" Alya mendongak sembari mengatur detak jantungnya yang tidak karuan. Pasalnya jarak wajah mereka sangat dekat hanya berjarak beberapa jengkal saja.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang