25.

208 120 144
                                    

"Bunda gimana keadaannya?"

"Bunda nggak apa-apa, Bang, tadi bunda kecapekan terus pingsan," jelas Dina mencoba menyakinkan putranya jika dia baik-baik saja. Jujur dia benci dengan raut wajah anaknya itu yang begitu khawatir padanya.

Sepulang sekolah Aryan dikejutkan dengan ibunya yang sudah terbaring lemah di depan pintu kamarnya. Anak mana yang tidak takut jika ada hal buruk terjadi pada ibunya, dengan tergopoh-gopoh ia membawa wanita itu ke dalam kamar. Berusaha membangunkan namun belum kunjung siuman.

Sekitar lima belas menit berlalu Dina membuka matanya perlahan dan mendapati anak lelakinya yang tengah menatapnya cemas. Berkat Aryan yang menyodorkan minyak angin ke arah hidung wanita itu akhirnya bangun juga.

"Abang panggilin dokter, ya, Bun" ucap Aryan dengan wajah paniknya.

Dina menggeleng pelan menolak tawaran anaknya itu. "Bunda nggak apa-apa, Bang, kamu bersih-bersih dulu terus makan." Dina menatap sayang anaknya itu yang masih terlihat cemas.

"Bunda dulu yang makan, Abang ambilin, ya?"

Lagi-lagi Dina menolak dan berakhir Aryan yang mengalah dan meninggalkan ibunya untuk berganti pakaian.

Seperginya Aryan, Dina meneteskan air mata yang sudah sedari tadi ia tahan. Sebisa mungkin ia tidak mengeluarkan suara isakannya, ia tidak mau Aryan mendengar kesedihannya saat ini.

Di samping itu Aryan kembali dilanda rasa gelisah dan takut akan kesehatan ibunya. Ia sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini, pemikiran buruk begitu saja terlintas di pikirannya. Beberapa detik berikutnya air matanya luruh begitu saja, dadanya sesak hingga ia tidak mampu mengendalikan pikirannya.

Kembali ia mengalihkan perhatiannya pada buku pelajaran dan mencoba berkonsentrasi belajar untuk ujian besok, namun pikirannya masih sulit untuk di ajak bekerja sama.

Ia merebahkan tubuhnya dan menatap langit - langit kamarnya yang bersih tanpa noda sedikitpun, ia berpikir jika hidupnya tidak sesulit ini mungkin ia tidak mengalami hal demikian. Hidup di tengah masa modern namun masih dengan kekurangan membuatnya semakin frustasi. Akankah ia mampu menghadapi semua itu. Kini ia berpikir jika untuk menggapai impiannya begitu sulit. Walaupun kepintaran otaknya yang di atas rata-rata namun itu semua masih kurang jika ia harus menempuh perguruan tinggi untuk meraih mimpinya.

Memang benar hidup di belakang mimpi yang entah akan berhasil atau hanya sebatas impian saja itu tidak mudah. Sekeras apapun dunia mendorong untuk terus melangkah namun di satu sisi realita kembali menjatuhkan dengan begitu bengisnya. Kenyataannya sebuah mimpi besar hanyalah milik mereka yang jauh dari kata putus asa.

Pikirannya yang kalut hingga membuat kedua mata cowok itu terpejam dan meninggalkan kesedihannya untuk terlelap menuju hari esok.

##

Hari berlalu dengan begitu cepat, ujian juga sudah hampir berakhir. Semua siswa siswi SMA 6 terlihat sumringah di akhir hari menjelang kenaikan kelasnya. Penentuan akan hasil ujian sebentar lagi akan usai. Dan membuat mereka bisa bernafas lega karena sudah menyelesaikan kelas pertengahan masa abunya itu. Begitu pula dengan Alya yang sudah semakin rajin dalam belajar. Dia yang awalnya tidak terlalu peduli dengan pelajaran sekarang telah berubah semenjak nasehat juga bimbingan Aryan padanya.

Ia tidak bisa menampik jika belajar dengan cowok itu bisa lebih membuatnya nyaman dan dengan mudah dalam memahami materi. Berkat kegigihannya dan kepiawaiannya dalam membimbing Alya, sekarang ia lebih percaya diri dan bangga dengan kemajuan signifikan pada gadis itu.

Orang tua Alya yang menyadari perubahan anaknya itu turut bangga dan mulai mendukung apa yang gadis itu lakukan. Terutama Liana yang sudah lebih perhatian pada anak gadisnya.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang