Tidak ada sesuatu yang lebih baik dari kebahagiaan, dan kini Aryan merasakan ketidakmungkinan itu. Ia masih setia menunggu ibunya yang masih di rawat mengingat keadaannya yang jauh dari kata baik-baik saja.
Sejauh ini ia juga sudah berusaha memasukkan lamaran ke beberapa tempat kerja. Awalnya ia juga ragu akan hal itu namun kembali lagi pada keadaannya saat ini. Ia merasa jika di umurnya yang sudah tidak anak-anak lagi dan sudah sepantasnya untuk menata masa depan.
Kemungkinan besar keinginannya untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi akan ia kesampingkan demi kesejahteraan keluarganya dahulu. Tidak ada waktu untuk sekedar memikirkan impiannya untuk menjadi seorang dokter itu. Pikirannya sudah terpenuhi dengan kekhawatiran akan kesehatan ibunya.
"Dengan keluarga pasien?"
Aryan menganggukkan kepala. "Iya, sus."
"Bisa ikut saya, ada yang perlu anda bicarakan bersama dokter."
Cowok itu mengikuti perawat tersebut keluar ruangan Dina. Perasaannya ia tata sebaik mungkin untuk menghadapi apa yang akan ia terima nanti. Sebisa mungkin ia terlihat biasa saja padahal jauh di dalam hatinya ia sangat takut untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
"Bagaimana dengan tawaran saya kemarin?"
"Ibu kamu masih belum sadar sampai saat ini, tidak ada yang bisa kita lakukan selain transplantasi ini."
Aryan menghela napas beratnya lantas mengangkat wajah menatap sang dokter. "Bagaimana dengan pendonornya, Dok?"
"Saya sudah carikan pendonor yang terbaik dari rumah sakit rujukan, kamu tidak perlu khawatir soal itu."
"Boleh saya minta waktu dulu untuk memutuskan ini, Dok?" pintanya.
Dokter ber-name tag Andika itu menganggukkan kepalanya. "Silakan saja, saya beri waktu tiga hari dari sekarang, setelah itu temui saya di sini lagi."
"Saya mengerti apa yang kamu rasakan saat ini, memang tidak mudah buat kamu. Serahkan semua pada Tuhan minta petunjuk agar semua berjalan sesuai keinginanmu."
"Terima kasih, Dok, saya permisi dulu."
Andika mengangguk dan mempersilakan Aryan untuk keluar dari ruangannya.
"Bunda, maafin Abang yang udah hampir putus asa ini," gumamnya menahan sesak di dadanya.
Kesadarannya kembali setelah organ lambungnya menciptakan bunyi meminta untuk diisi asupan energi. Kakinya ia paksa untuk melangkah menuju kantin rumah sakit lantas memesan makanan di sana.
Sekembalinya dari kantin ia memasuki kamar ibunya. Namun apa yang ia lihat sangatlah mengejutkan. Kali pertama yang ia lihat adalah keadaan ibunya yang sudah siuman dari komanya. Ada dokter serta beberapa perawat yang ada di samping brankar itu.
Seketika rasa sesak yang ia rasakan beberapa hari ini hilang dan lenyap entah kemana. Ada secercah cahaya yang masuk ke dalam lubuk hatinya, yang tadinya gelap berubah menjadi lebih berwarna.
Tuhan mengabulkan doanya yang selama ini selalu ia harapkan. Hari ini laki-laki itu kembali menemukan seseorang yang selama ini ia sayangi. Dina dan juga kesadarannya yang mampu membuat Aryan bisa mengulas senyum lebar kali ini.
"Bunda," panggilnya seraya mendekat dan memeluk wanita itu.
Dina masih jauh dari kata pulih hanya mengembangkan senyum belum mampu melakukan pergerakan apapun. "Kamu gimana keadaannya?"
"Bunda, nggak usah pikirin Abang, Abang nggak apa-apa, Bun."
"Bunda fokus aja sama kesehatan bunda."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARYAN [ Revisi ]
Teen Fiction"Hmm, gua punya info penting buat lu?" Alya yang tertarik menghentikan langkahnya dan menatap Aryan penuh tanya. "Apaan?" Aryan mendekatkan wajahnya ke arah Alya "Rasa sayang gua sama lu masih sama malah makin tambah" bisiknya. Alya melotot sedang...