19.

229 124 90
                                    

Aryan telah menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Menancap gas dengan kecepatan sedang dan seketika angin malam menerpa tubuhnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Keringat dan rasa lelahnya kini berbaur menjadi satu. Memilih bekerja paruh waktu memang tidak mudah jika dibayangkan. Membagi waktu antara belajar dan bekerja membutuhkan kejelian di dalamnya.

Baginya pekerjaan itu sangatlah penting untuk kehidupannya. Melihat kondisi ibunya yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja, ia menyisihkan rasa ambisiusnya akan nilai dan sekolahnya. Merelakan sebagian waktunya untuk bekerja serta mencari penghasilan untuk terus melanjutkan hidup.

"Bunda makan dulu, ya, Abang udah makan di luar tadi," teriak cowok itu di depan kamar mandi sesaat setelah menyimpan helmnya.

"Iya," sahut ibunya dari dalam kamar mandi.

Ia tahu jika ibunya belum makan malam, terlihat dari makanan yang masih utuh di atas meja.

Aryan melangkah menuju kamarnya, berniat untuk belajar karena beberapa hari lagi ujian kenaikan kelas akan diadakan. Bagaimanapun ia masih memiliki kewajiban untuk belajar dan mendapat nilai yang terbaik. Keinginannya tahun ini adalah mampu bertahan di peringkat tiga besar seangkatannya. Mendapatkan apa yang kita inginkan memang mudah namun mempertahankan adalah hal yang sangat sulit.

Beberapa buku juga modul referensi ia buka hanya untuk menjawab satu soal. Memecahkan soal mengharuskannya mengetahui lebih dulu rumus yang tepat akan konsep soal tersebut.

Penunjuk waktu sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Menurutnya semakin larut akan lebih mudah dalam menyerap materi. Karena suasana yang begitu tenang mampu membuatnya semakin konsentrasi untuk belajar.Berbeda dari sebagian orang yang malah anti belajar pada malam hari.

Dengan telaten ia mulai mengerjakan soal-soal latihan itu. Sebenarnya kegeniusan seseorang hanyalah keberuntungan baik baginya. Semua akan datang dan kembali pada waktu yang tepat.

Di tengah kegiatannya, ponselnya berbunyi, ada panggilan masuk di sana.

"Halo."

Bukannya mendapat jawaban ia malah mendengar isakan kecil dari gadis itu.

"Lo kenapa?" Aryan bangkit dari duduknya dan seketika perasaan gelisah menghampirinya.

"Gu-gue harus gimana, Ar?"

Cowok itu mengernyitkan dahinya. "Lo kenapa?" tanyanya untuk kedua kalinya.

Gadis di seberang sana semakin terisak, entah apa yang terjadi ia tidak mengerti. Semua spekulasi buruk terlintas di benaknya. Sampai saat ini ia masih belum terlalu mengerti tentang sikap gadis itu.

"Dia hikss dia ada disini, Ar."

Isakan tangis gadis itu kian menjadi, Aryan merasa tidak tahu lagi apa yang akan ia perbuat mengetahui gadis itu kembali bersedih. Siapa yang ia maksud itu?

"Lo tenang dulu, Al, apa perlu gue ke sana?"

"Nggak usah hikss, udah malem."

Penolakan gadis itu belum mampu membuatnya tenang. "Gue ke sana, ya?"

Masih tetap dengan jawaban yang sama Alya tidak memperbolehkan untuk menemuinya.

Namun bukan Aryan jika segala kehendaknya ditentang oleh siapapun. Keputusannya hanya dialah yang berhak mengendalikan. Dengan cepat ia meraih jaket dan memakainya asal tidak lupa dengan kunci motor yang sudah ia genggam. Ia melongok sebentar ke arah kamar ibunya, dan terdapat Dina yang sudah terlelap dengan tenang.

##

Karena waktu sudah sangat larut, cowok itu mau tak mau memanjat pohon yang berada tepat di sebelah kamar Alya, cabangnya yang kuat hingga mengenai balkon kamar gadis itu. Dengan sekali lompat ia sudah berada di bibir balkon. Sejenak ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang