22.

195 107 39
                                    

Dengan malas ia mulai memasuki ruangan penuh buku itu, seketika aroma kertas yang berbaur dengan kayu menyeruak masuk ke dalam indra penciumannya. Ia melongok sebentar ke arah meja tempat Bu Sofia biasanya duduk, syukurlah beliau masih ada di tempat. Ia tidak akan disini seorang diri, pikirnya tenang.

Dengan alat kebersihan di tangannya ia mulai menyapu juga mengelap semua rak-rak penuh debu itu, ia sedikit heran mengapa perpustakaan bisa sekotor itu. Sudah berapa tahun tidak disentuh dengan alat kebersihan. Lagipula penghuni perpustakaan yang didominasi orang-orang genius itu apakah nyaman jika berada dalam ruangan pengap seperti itu. Ia tidak habis pikir mengetahui hal itu.

"Ini, kemana juga sih anak OSIS. Emang nggak ada jadwal piket gitu, ya?"

"Huh, sia-sia banget ikut organisasi tapi nggak guna."

"Udah tahu jadi kacung sekolah, nggak ada tanggung jawabnya emang."

Cerocosnya masih terus berlanjut tanpa mempedulikan orang yang terus mengawasinya dengan tenang. Ia memandang gadis itu yang tengah sibuk membersihkan rak-rak dan sesekali mulutnya bergerak naik turun membuatnya tersenyum tipis.

Sungguh, ia rindu dengan Alya yang bersikap seperti itu.

Brakk...

"Eh, apaan tuh?" refleks Alya menoleh namun tidak menemukan siapa-siapa. Sedangkan di lain tempat seseorang tengah merutuki dirinya karena kecerobohannya. Dengan cepat ia segera pergi sebelum diketahuinya.Tanpa mengindahkan lagi Alya kembali menyapu lantai yang kotor itu.

Alya mendengus kesal saat Dion belum kunjung datang menjemputnya. Entah apa yang membuat kakak tirinya itu begitu ingin untuk menjemputnya. Dengan berat hati ia mengiyakan dan berakhir menunggu di depan gerbang sekolah dengan wajah lesunya.

"Ck, tuh orang kemana sih?"

"Sial, jangan-jangan gue di kibulin lagi."

"Emang bangke tuh oncom satu."

Gerutuan kecil mulai keluar dari mulutnya. Namun suara seseorang membuatnya tertegun.

"Alya!"

Ia menoleh dan mendapati Revan berdiri di belakangnya, menatap Alya dengan tatapan yang sulit ia artikan.

Alya meneguk salivanya yang terasa sulit. "Re-van..."

Revan berjalan mendekat sedangkan Alya masih mematung ditempatnya. "Ada yang perlu aku omongin."

"Aku nggak bisa kayak gini terus, Al," ucapnya dengan suara bergetar.

"Beri aku kesempatan, Al,"

Alya mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Apa yang harus ia lakukan saat ini. Bagaimana menghadapi 'dia' yang sekarang tengah dihadapannya itu.

"Gu- gue butuh waktu, Re, gue duluan," Alya berbalik dan berlari entah kemana. Kedua kakinya membawanya menuju taman samping sekolahnya. Ia terduduk dengan air mata yang lagi-lagi mengalir begitu saja.

"Kenapa sesakit ini?" gumamnya ketika merasakan kembali rasa sakit itu.

Drrtt..Drrtt..

Ponselnya berbunyi dan muncul nama Dion di layar tersebut.

"Lo dimana? Gue bilang tunggu dulu-

"Gu-gue di taman samping sekolah."

"Oke, gue kesana."

Sambungan terputus dan tidak membutuhkan waktu lama, Dion datang dengan mobilnya lalu keluar dan menghampiri Alya yang terduduk tidak jauh darinya.

"Pulang, lo ngapain sendiri di sini. Kurang kerjaan banget," pandangannya menyapu keadaan taman itu yang lumayan sepi.

ARYAN [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang