Sudah dua hari berlalu namun Aryan belum menunjukkan batang hidungnya, kemana perginya cowok itu sampai tidak ada kabar sedikitpun yang ia ketahui. Urusan apa yang membuatnya mengasingkan diri selama ini. Seperti saat ini Alya menatap lurus bangku di sampingnya, ingatannya kembali berputar saat Aryan masih duduk di sana.
Aryan yang selalu memaksanya belajar, Aryan yang sering menjahilinya, Aryan yang selalu menjadi pusat perhatian, Aryan dengan segala kecerdasan dan masih banyak lagi definisi yang menggambarkan laki-laki itu.
Kurang lima belas menit lagi bel masuk segera berbunyi, namun masih belum ada tanda-tanda kedatangan cowok itu. Lagi-lagi Alya menghela napas berat, pikirannya hanya berpusat pada Aryan. Di satu sisi ia takut jika hal buruk terjadi padanya, namun sebisa mungkin ia berpikir positif dan berharap yang lebih baik.
Jujur saja ia kesepian jika Aryan tidak ada, menurutnya berangkat ke sekolah adalah hal yang ia tunggu-tunggu. Walaupun ia hanya mempunyai Aryan sebagai temannya namun ia sangat bahagia dan bersyukur. Dia memang selalu pemilih dalam segala hal, entah itu keputusan besar ataupun sepele sekalipun.
Baginya mempunyai teman yang banyak tidak menjamin atas kebahagiaannya, bisa saja orang yang memiliki banyak teman justru dalam waktu yang sama juga mempunyai banyak masalah. Karena secara tidak langsung orang yang selalu berhubungan akan menjadi faktor terbesar menjadi sumber masalah.
Bel berdering nyaring seketika menyadarkannya dari lamunan pagi itu. Jam pertama adalah pelajaran olahraga. Ya, Alya sangat membenci pelajaran itu, ditambah lagi ketidakberadaan Aryan di sana semakin membuatnya ingin kembali pulang ke rumah sekarang.
Biasanya cowok itu yang selalu memaksanya pertama kali dalam hal pelajaran di lapangan itu. Tentu saja Alya menolak keras dan memilih berlari keluar kelas dan berakhir di perpustakaan untuk merealisasikan salah satu hobinya yang tidak lain dan tidak bukan adalah tidur, namun kali ini berbeda ia sama sekali tidak berniat untuk sekedar bangkit dari bangkunya.
"Olahraga, Al," ucap Dikha spontan mengejutkan gadis itu yang sedang berada dalam fase mood hancurnya.
"Lo aja, gue nggak minat," bohongnya sambil menumpu kedua tangannya di atas meja dan menenggelamkan kepalanya di sana.
Dikha menghela napas karena sudah hafal dengan kebiasaan gadis itu.
"Yaudah gue duluan," ucap Dikha lantas melenggang keluar menyusul anak lain.
Alya hanya berdehem sekilas, beberapa anak sudah mulai keluar kelas meninggalkannya dalam ruangan itu. Alya tahu jika ia akan sendiri di dalam kelas, namun kembali lagi karena rasa malasnya yang membuatnya masih betah di sini.
Cahaya matahari yang masuk melalui celah kaca jendela itu mengenai wajahnya yang tanpa ekspresi dan membuatnya menyipit karena silaunya.
Ia menegakkan tubuhnya seraya memejamkan mata menikmati ketenangan yang beberapa detik sempat hadir, namun di detik ke sepuluh langkah kaki seseorang tertangkap dalam pendengarannya. Suara itu begitu nyaring dan ia merasa jika langkahnya juga semakin mendekat. Ia menyadari itu namun masih setia dengan mata terpejamnya. Dadanya sudah bergemuruh dan di detik ke enam belas ia membuka mata dan mendapati seseorang yang sangat ia kenal duduk di sampingnya.
"Lo-...
"Hai," sapanya lembut membuat gadis itu tersadar dari keterkejutannya.
"L-lo ngapain ke sini?"
Revan tersenyum. "Nggak ngapa-ngapain, cuma pengen aja."
"Kok-..
Revan menunjuk kaos olahraganya. "Ini, kelas kita olahraga jadi satu, kata Pak Gino tadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
ARYAN [ Revisi ]
Dla nastolatków"Hmm, gua punya info penting buat lu?" Alya yang tertarik menghentikan langkahnya dan menatap Aryan penuh tanya. "Apaan?" Aryan mendekatkan wajahnya ke arah Alya "Rasa sayang gua sama lu masih sama malah makin tambah" bisiknya. Alya melotot sedang...