Suara denting alat-alat makan terdengar lirih. Ruangan itu lengang sejenak, semua sibuk dengan makanan masing-masing. Aldrich yang menyuapi Lamia dengan mesra seolah tak peduli sekitarnya. Rezvon dan Asher yang anteng sekali, makan dengan anggun. Cleon sesekali berbisik, mengayunkan kaki di bawah meja, dan memakan hidangan cuci mulut dengan lambat. Sharley sendiri malah memutar-mutar persik dengan garpu.
"Seberapa banyak yang sudah kalian dengar?" Rezvon memecah keheningan, setelah meminum air putih. Hidangan penutupnya sudah habis.
"Cuma setengah, Yang Mulia," balas Cleon sembari melahap irisan pir. Panggilan Cleon dan Asher pada Rezvon sering berubah-ubah. Kadang Yang Mulia, kadang Tuan. Tidak berkomitmen pokoknya.
"Lain kali jangan menguping seperti tadi. Paham?"
"Paham," jawab Sharley, Asher, dan Cleon bebarengan. Rasanya mereka seperti anak kecil yang dimarahi orang tua gara-gara tak sengaja memecahkan kaca jendela milik tetangga.
"Nah, apa kalian punya solusi mengenai permasalahan ini?" sela Lamia.
Sharley dan Cleon saling pandang. "Kami tak punya. Asher?" Nyatanya, Asher juga menggeleng. "Kita bisa menemukan jejak pembunuhnya dengan sihir pelacakan. Apa itu juga tidak bekerja?"
"Tidak. Sihir yang kita hadapi ini lebih besar dibanding sihir biasa. Jejaknya benar-benar tak bisa ditemukan. Kita sudah mengundang penyihir agung — Archamage — dan sampai sekarang masih dalam tahap penelitian," jelas Aldrich.
"Kita bisa mengawetkan jasadnya selama jasad itu belum membusuk," usul Asher. Dia menyuap irisan apel. Dalam kondisi begini, Asherlah yang paling tenang dan berpikiran jernih. Pembawaannya memang senantiasa tenang, sih. Sharley seringkali kagum dengannya. Dia jadi ingin mendapatkan kiat-kiat untuk selalu tenang di manapun dan kapanpun.
"Itulah yang kami lakukan saat ini. Mayat elf ditemukan sehari yang lalu, jasadnya belum membusuk. Para dokter membersihkan mayatnya dan diberikan cairan pengawet. Saat ini, mayat elf itu diletakkan di laboratorium paviliun barat. Tempat para dokter dan ilmuwan istana menyembuhkan dan meneliti," jelas Rezvon.
Sharley mendorong piringnya. Hidangan pencuci mulut baru habis setengah, tapi dia sudah tak berselera lagi. Kasus ketiga yang terjadi menguasai pikirannya. Sesuai pemberitahuan Rezvon, dalam satu bulan ada satu mayat. Itu berarti, bulan depan akan ada mayat keempat.
"Papa, bolehkah kami melihat mayat elf?" tanya Sharley. Rezvon sontak menggeleng, tak mau anaknya melihat hal mengerikan seperti mayat kehabisan darah. Dia lupa kalau Sharley pernah membunuh Dullahan yang bahkan lebih menakutkan daripada mayat.
Sharley protes tak terima. "Jika Papa tak mau, aku bakal pergi sendiri. Papa sudah menyembunyikan kejadian ini dariku. Tak ada yang memberitahuku dan kalau aku tak mencarinya pun takkan ada yang mau memberitahuku. Untung ada Cliff yang bersedia."
Dahi Rezvon mengerut. Sharley mendapat firasat kalau Rezvon bakalan menghajar Cliff karena sudah memberitahukan Kasus Pembunuhan Aneh kepadanya. Mudah-mudahan saja tidak, karena kasihan sekali Cliff kalau bonyok.
"Sharley, kakak tak memberitahu kalian bertiga itu karena dia khawatir padamu. Dia tak mau membebanani pikiranmu di saat waktunya kau ujian akhir semester," kata Aldrich yang mencoba memberi pengertian. Tapi Sharley tak menggubrisnya.
"Iya, Yang Mulia, saya juga ingin melihat mayatnya," balas Cleon. Asher mengangguk-angguk, pertanda dia ingin melihat mayat Elf. Sharley menambahkan tatapan memelasnya seperti anjing tak diberi makan oleh majikan seharian gara-gara lupa. Biasanya ini ampuh sekali meluluhkan hati laki-laki, bahkan untuk Asher yang mirip dinding saking datarnya.
Rezvon seolah mendengar suara Thalia merongrong telinganya. Ia mendapat tekanan Sharley. Tak tega, bingung, cemas. Semua campur aduk. Kalau tidak dituruti, Sharley bisa merajuk. Kalau dituruti, tak ada jaminan kalau anaknya takkan takut. Ia menganggap Sharley masih kecil, rapuh, hatinya bisa hancur kapan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (2): The Secret's of the Hatrany (√)
FantasyHatrany adalah kaum terendah di Negeri Hyacintho. Mereka dijadikan budak, sering disakiti baik secara fisik maupun mental. Mereka selalu dipandang rendah, diperlakukan layaknya binatang. Sebagian kaum-kaum lain pun tak ada yang mau menolong mereka. ...