XXI : Ia Tak Mau Dihantui Mamanya

611 130 9
                                    

"Cepatlah berbaikan dengan Rezvon, Sharley. Suasana istana benar-benar suram sejak kalian berdua bertengkar. Seperti ada makhluk halus mendiami istana ini, sepertinya itu kak Thalia yang tak suka kalian bertengkar." Lamia mencelupkan gula batu dalam teh melati Sharley.

Gadis itu melamun, masih memikirkan ciuman di rambut dari Asher tadi. Tanpa sadar mukanya memerah lagi. Pakaian berlatih telah diganti dengan gaun pendek dan celana sertakan sepatu-sandal. "Aku ... sedang memikirkannya, Bibi. Dan Mama, semoga dia tak menghantuiku karena kesal."

Lamia tertawa renyah. "Mana mungkin dia menghantuimu. Dia kemungkinan hanya mendatangi mimpimu saja dan menasehatimu untuk segera baikan."

"Bibi, itu sama saja," balas Sharley sambil cemberut. Sharley belum pernah melihat wajah Mamanya langsung, tapi melihat Thalia pertama kali dan sedang marah bukanlah daftar keinginannya.

"Pokoknya cepat baikan dengan Papamu. Oke? Aku tak mau melihat kalian saling menghindar begini. Kak Rezvon menolak makan bersama, begitu juga dengan kau. Dia sangat tak bersemangat hari ini dan sering melamun. Kulihat sekali dia memperhatikanmu sewaktu latihan pedang bersama Asher."

Sharley diam saja. Ia juga ingin berbaikan dengan Rezvon, tapi menungu waktu yang tepat. Padahal setengah hari belum berjalan, tapi rasanya seperti sebulan. Tak ada ciuman selamat pagi di rambut dari Rezvon, tak ada canda tawa. Semuanya asing. Sharley terjebak dalam kegelapan dan dia sendirilah penyebabnya.

"Akan kulakukan, tapi aku harus menunggu waktu tepat." Sharley menyuap kentang goreng. "Ini waktu yang tepat, lho. Kak Rezvon sedang istirahat di ruangannya. Kau pergilah, jangan mengulur waktu."

"E-eh tapi?!" Melihat wajah menyakinkan Lamia, mau tak mau Sharley mengangguk. "Oke deh. Doakan semoga berhasil."

🌙🌙🌙

Gadis bermata hazel itu menelengkan kepala. Ia masuk ke ruang kerja Rezvon karena tak ada respon dari pemilik ruangan. "Ke mana Papa?" Ia mengelilingi ruangan yang sama besarnya dengan kamarnya. Ajudan setia Rezvon, Olvus, tak ada di manapun. Biasanya ajudan itu ada di samping Rezvon.

"Walah." Sharley berhenti di sofa ruangan, ternyata Rezvon sedang tidur di sana. Papanya itu mendengkur halus, berwajah pucat, dan dua kancing teratas kemeja dilepas, sabuk terlepas seolah dipakai secara asal-asalan. Secangkir kopi tergeletak di meja, tinggal setengah. Sharley berjongkok di depan sofa dan memperhatikan jari tengah Rezvon yang disematkan cincin. Katanya, itu cincin pemberian keluarga Darcy, keluarga Thalia.

Sharley memperhatikan Rezvon dengan tatapan sendu. Ia sangat membenci diri sendiri, diri yang menutup mata atas perjuangan Rezvon untuk melindunginya. "Maafkan aku, Papa. Aku seharusnya lebih mengerti dan seharusnya memahami Papa. Aku hanya merasa gagal menjadi anak, tapi aku tak memikirkan Papa yang selalu memikirkan keselamatanku. Aku egois, bandel, keras kepala. Seharusnya aku membuka cara pandang baru. Aku benar-benar minta maaf."

Dia menunduk, mendesah lelah. Setelah mengatakannya, dada Sharley terasa lega. Sesak yang sepagian ini merongrong paru-paru nan menyakitkan telah terangkat. Betapa puas Sharley mengatakan isi hatinya.

Suatu tangan hangat mengelus pipinya yang agak tembam. Sharley tersentak, membuka matanya perlahan. Rezvon di hadapannya sedang tersenyum tulus dengan mata setengah mengantuk. "Papa.... "

"Kau mengakui kesalahanmu?"

"Iya. Maafkan aku, Pa."

Rezvon bangkit duduk, menangkupkan tangan di pipi putrinya. Sementara Sharley tetap bertahan di posisi duduk di lantai. "Baguslah jika begitu. Aku harap kau tidak berpikiran atau bertindak nekat lagi seperti kemarin. Jangan biarkan darah Mezcla mengambil alih emosi dan tubuhmu." Rezvon mencium dahi Sharley.

The Eternal Country (2):  The Secret's of the Hatrany (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang