XXIX : Tuanangan, Yuk!

645 137 26
                                    

"Aku harap bisa menghabisi Rie dengan tanganku sendiri," kata Sharley sembari menyesap teh oolong. Surat yang ditulis Aldrich telah dikirim secara rahasia oleh tim pos istana. Sekarang, jika surat sudah sampai, maka tinggal memberitakan hal ini pada masyarakat dan memulai pengungisan.

Sharley menatap kosong ke luar lewat jendela kamarnya. Fokusnya menghilang entah ke mana, terlebur bersama rasa benci pada Rie. Dia tahu perasaan ini akan merusak hatinya, tapi dia juga tak bisa menahannya.

Kebencian yang begitu besar, sulit dideskripsikan. Perasaan yang merongrong dadanya, perlahan merusak akal sehat. Sedikit demi sedikit, seperti kaca yang bagaikan emosi positif mulai retak. Kemudian retakan itu menyebar, terus menyebar, dan pada akhirnya memecahkan kaca itu dengan sempurna. Meloloskan semua emosi negatif, emosi yang selama ini terpendam dalam dirinya.

Nyut!

Gadis itu memegang dadanya. Tidak. Ia tak boleh membiarkan kaca itu hancur. Jangan sampai sisi gelap dirinya terbebaskan.

"Hah, aku cari angin dulu deh." Sharley berjalan-jalan di lorong istana, barangkali suasana hatinya bisa memulih. Istana lebih ramai karena persiapan perang, terutama menara pasukan, barak, lapangan latihan, dan bengkel penempaan besi.

Dalam waktu singkat, Rezvon merekrut prajurit baru. Tak peduli status kehidupan di masyarakat, entah itu bangsawan, orang biasa, dan bahkan anak jalanan. Selama orang itu memiliki kemampuan bertarung baik, ilmu senjata, dan tak takut kematian. Beberapa anak jalanan memang ada yang bisa bertarung, mereka belajar secara otodidak. Sebuah keberuntungan bisa menjadi prajurit kerajaan, tapi itu artinya harus siap mati demi melindungi kerajaan. Fisik dan mental harus kuat.

Barak menjadi penuh karena banyaknya prajurit baru yang datang. Barak-barak dibangun, aktivitas terjadi di sana tanpa kenal waktu. Bahkan ketika Sharley sudah tidur di jam sepuluh, masih ada aktivitas di barak dan lapangan latihan. Penjagaan ditingkatkan di istana, juga kota-kota yang memiliki keamanan tertinggi. Penjagaan dilakukan bergiliran dan setiap dua jam sekali wajib mengirim laporan hasil penjagaan kepada komandan, Lunn.

Sharley menghentikan langkahnya. Ada naga di halaman samping istana, sedang asyik bermain bola yang justru berujung dibakar. Tali kekangnya diikat pada pohon. Dilihat dari ukuran, mungkin naga itu baru berusia delapan bulan. Di usia muda, naga biasanya lebih aktif. Makanya diberikanlah mainan bola supaya naga tidak mengacau sekitar dan hanya fokus pada mainannya.

"Hmm, siapa yang datang?" Di pelana, tak ada lambang keluarga bangsawan sama sekali. Itu aneh, tapi Sharley mengangkat bahu tak peduli.

Dia melanjutkan jalan ke taman. Duduk di salah satu bangku sembari menengadah ke langit biru. Suara ciutan burung di pohon-pohon menemaninya, juga suara gemerisik karena angin. Tak ada yang berani menganggunya, para pelayan atau prajurit hanya lewat setelah sadar kalau Sharley butuh waktu sendiri.

Apa kali ini aku akan berpetualang lagi demi mendapatkan benda suci itu? Petualangan di Gunung Wintergrass masih melekat erat di benaknya. Situasi-situasi pelik, darah yang menguncur, korban berjatuhan, bertemu teman seperjuangan. Semuanya terjadi di gunung itu. Ia ingat hampir putus asa, tapi kemudian teringat dengan Asher dan Cleon.

Dua teman yang setia berada di sampingnya. Kesetiaan yang tak mungkin diragukan.

Ke mana kali ini mereka bertiga harus bepergian? Di mana nyawa mereka harus dipertaruhkan? Apa yang harus mereka rela lepaskan dan apa yang harus mereka pertahankan? Bagaimana caranya mereka bebas dari kesakitan?

Hal-hal yang tak bisa dilepas begitu saja dari Sharley, Asher, dan Cleon. Pada akhirnya mereka harus menempuh jalan yang sama.

Sharley menutup mata, menikmati suara-suara burung yang bernyanyi. Dalam setiap hembus napas, ia melepaskan setiap sesak yang menyelimuti dada.

The Eternal Country (2):  The Secret's of the Hatrany (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang