XXVI : Masih Ada Cara Lain

528 121 3
                                    

"Jadi begitu ya ... Rie membutuhkan darah delapan kaum untuk ritual," guman Aldrich. Hawa tegang nan mencekam menguasai ruangan, sumbernya tak lain dan tak bukan adalah Rezvon. Sharley, Cleon, dan Asher menundukkan kepala dan memainkan jari masing-masing. Posisi mereka saat ini serba salah.

Ruang kerja Aldrich kali ini menjadi tempat percakapan. Hanya ada keluarga Alerian, Asher, Cleon, dan Eloz yang berdiri di belakang Aldrich. Sharley tak pernah melihat ayahnya semarah ini, bahkan lebih parah dibanding dia dulu ketika nekat memburu tiga penyerang di kediaman Amalith.

Amarah Rezvon tidak meledak-ledak, melainkan wajahnya berubah sangat datar. Matanya berubah-ubah tiap lima detik sekali dan seolah sanggup membunuh itik dengan tatapan leser itu. Bulu kuduk Sharley meremang, sudah cukup lama ia tak merasakan sensasi ini. Susah meredakan amarah Rezvon kalau sudah begini.

"Kalian tak tahu ritual apa yang dimaksud?" tutur Lamia, napasnya memburu karena tekanan dari Rezvon. Perutnya membuncit sedikit dan dia mengelus-elus dengan kasih sayang.

"Kami tidak tahu. Tapi Rie tak memiliki kendali penuh atas semua orang yang dia ubah karena terlalu banyak, sehingga dia membutuhkan ritual. Selain itu, dengan ritual, dia bisa menguatkan kekuatannya. Kita harus menghentikan dia sebelum terlambat," ungkap Cleon yang berusaha berani bak pahlawan kesiangan.

Sharley sangat syok begitu mereka menjelaskan semuanya. Rie telah mengumpulkan pasukan tanpa sepengetahuan siapapun selama ratusan tahun. Tapi pasukan apa yang dia buat sampai tak ada satupun yang menyadarinya? Siapa yang dia rubah?

Otaknya lagi-lagi tak bisa berpikir jernih. Tapi dia merasakan gejolak marah di dalam dadanya seperti lava gunung berapi yang hendak meletus. Emosinya memang kini tak stabil, tapi tak boleh sampai kelepasan. Jika kelepasan, yang ada semua kaca di istana pecah karena perubahan emosi yang memicu ledakan kekuatan.

Pyar! Pyar! Pyar!

"Kyaaa!"

Baiklah, Sharley tak membuat kaca pecah. Tapi Rezvon.

Rezvon menggerung, tak peduli dengan semua kaca jendela di ruangan ini yang pecah. "Kalian telah melanggar perintah," katanya. Sharley ingat kalau Rezvon adalah seseorang yang sangat patuh pada aturan dan disiplin. Tidak heran kalau Rezvon bisa semarah ini mengetahui putri dan rekan-rekannya melanggar perintah padahal dia sudah pusing dibuat kepikiran dengan mereka.

Rezvon peduli pada mereka, terutama Sharley. Dia menginginkan mereka terlindungi, termasuk jika harus mengurung mereka dalam istana.

Selain marah karena Sharley lah yang meminta Asher dan Cleon untuk menyelidiki diam-diam tanpa surat resmi, dia juga marah karena baru mengetahui kebenaran ini. Kenapa harus remaja-remaja itu yang mengetahuinya lebih dulu? Rezvon merasa sangat payah.

Dada Sharley naik-turun dengan cepat. "Papa, itu bukan hal terpenting di sini. Kita mendapat informasi kalau Rie menggunakan darah delapan kaum untuk ritual dan dia telah mengubah banyak orang untuk menjadi pasukannya. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana kita mencegah Rie menguasai Negeri Hycintho. Dia harus dihentikan, sebelum semuanya terlambat."

Rezvon mengusap wajah. "Tapi kalian bertiga telah bertindak tanpa pemberitahuan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Asher dan Cleon? Bagaimana kalau kalian celaka?" Dia berusaha menjaga nada suara supaya tak menakut-nakuti Sharley.

Satu hal yang sangat dibenci Rezvon adalah Sharley takut padanya.

"Kami tahu kalau kami bersalah. Kami minta maaf, Papa. Tapi kita bisa mendapatkan informasi lebih berkat Asher dan Cleon. Tanpa mereka, kita mungkin kesulitan untuk tahu sebenarnya apa tujuan Rie mengambil darah dari korbannya. Sekarang sudah pasti kalau vampir bukan palakunya," kata Sharley.

The Eternal Country (2):  The Secret's of the Hatrany (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang