"Papa, bisakah aku meminjam artefak sihir?" pinta Sharley melancarkan aksinya. Rezvon melirik sekilas, kemudian mengerjakan dokumen lagi. "Untuk apa?" balasnya setengah peduli.
"Aku hanya ingin melihat-lihat, katanya benda itu hebat. Tenang saja, aku takkan menggunakannya untuk main-main."
Rezvon mendongak, kali ini benar-benar menaruh perhatian pada putri satu-satunya. Hari ini pun surat datang dalam jumlah besar, menumpuk nyaris lima senti di meja Rezvon. Ia tak membacanya karena malas dan sudah bisa menebak isinya, jadi meremas semua surat dan membakarnya ke perapian.
Sudah cukup. Takkan ada habisnya jika ia terus memedulikan kaum bangsawan. Memang terkadang lebih baiknya jika ia menutup mata dari bangsawan sejenak. Apa harusnya kujadikan saja surat-surat itu menjadi burung kertas? Seru sih, tapi terlambat. Semuanya sudah dibakar, batin Rezvon.
Menjadi pendamping Aldrich, bukanlah pekerjaan yang mudah. Tapi ini lebih mending dibanding saat ia menjadi raja, tidak semelelahkan dulu. "Janji, ya? Jangan dibuat main-main? Artefak itu benda berharga istana. Jika kau merusaknya — aku bukannya akan marah — tapi itu bisa menjadi persoalan panjang."
"Iya deh, aku janji." Sharley tahu kalau harga artefak sihir sangatlah mahal, jadi bisa dimaklumi kalau artefak itu memasuki benda berharga istana.
Rezvon memberikan Olvus kunci emas brankas yang tergantung di balik tuksedonya. Olvus pun membuka brankas yang terletak di lemari paling atas ruangan. "Oh ya, bibimu datang ke istana hari dia karena ada urusan dengan Al. Jadi, tolong kau temui dia, sapa dan berbasa-basilah."
Mood Sharley yang sejak awal sudah menurun, kini tambah menurun. Dia tahu bibi siapa yang Rezvon maksud. "Papaaa, Papa tahu 'kan kalau hubunganku dengannya tidak baik? Dia selalu saja mencari-cari kesalahanku meski aku sudah melakukan semuanya sebaik mungkin," keluh Sharley sembari memanyunkan bibir.
Bertemu dengan bibi bak mak lampir adalah salah satu daftar kegiatan paling dihindari. Olvus datang dengan membawa artefak sihir berbentuk batu. Rezvon memberikannya pada Sharley. "Aku tahu, tapi suka tak suka kau harus menemuinya. Tunjukkan sopan santun keluarga kerajaan."
Sharley merasakan hangat di sekitar batu di tangannya. Tapi hanya sebentar karena batu itu berubah menjadi lembab karena keringatnya. "Baik, Papa." Dengan lesu, Sharley melangkah keluar. Andai saja ada sihir perlambatan, maka dia akan dengan senang hati menggunakannya.
"Hey, nak," panggil Rezvon. Sharley menoleh ke belakang, Rezvon menyengir lebar. "Semangat." Pria bermata ungu itu mengepalkan dua tangan sebagai tanda semangat. Secara tak langsung, Rezvon meledek Sharley dengan halus.
"Papaaa!" rajuk Sharley kemudian mempercepat langkahnya. Dia menutup pintu dengan keras, Rezvon terkekeh puas. Suka melihat putrinya cemberut karena ulahnya.
Sharley berjalan cepat-cepat di lorong. Untungnya hari ini ia tak memakai heels super tinggi, jadi tidak takut kaki keseleo. Dan panjang gaunnya tidak menutupi mata kaki.
Dia benar-benar tak ingin bertemu dengan bibinya. Tapi sebagai keponakan, dia harus menunjukkan sopan santun. Akan terkesan aneh jika dia tak memberi salam pada bibinya dan suatu hari nanti beliau pasti akan membahasnya. Aku hanya perlu menyapanya, tidak apa-apa. Aku bisa melakukan ini. Ini tidak semengerikan Persee bangkit dari kematiannya.
Karena tenggelam dalam pikiran, Sharley tak sadar ada seseorang yang berjalan di depannya. Orang itu mengangkat alis karena tak sengaja bertemu dengan Sharley.
"Saya menghadap Tuan Putri Sharley Alerian, bintang pertama Kerajaan Noctis." Wanita bersurai hijau muda dengan mata oranye itu membungkuk. Sharley hampir saja melompat karena saking kagetnya, tapi buru-buru menguasai diri. Ikut membungkuk sebagai tanda hormat karena orang di depannya ini bukan bangsawan biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (2): The Secret's of the Hatrany (√)
FantasyHatrany adalah kaum terendah di Negeri Hyacintho. Mereka dijadikan budak, sering disakiti baik secara fisik maupun mental. Mereka selalu dipandang rendah, diperlakukan layaknya binatang. Sebagian kaum-kaum lain pun tak ada yang mau menolong mereka. ...