"Sudah lama kita tak bertemu, bukan begitu Yang Mulia?" Virgil membuka obrolan sembari memakan steaknya. Perjamuan diadakan di salah satu ruangan istana induk, salah satu dindingnya adalah kaca yang menunjukkan pemandangan ibukota Mardiem, Xyzarrawa. Sharley tahu, pelafalannya susah. Tapi Mardiem suka hal-hal rumit, makanya sampai nama kota saja serumit itu.
Steak di hadapan Sharley sama sekali tak menggoda padahal tampilannya saja sudah sanggup membuat orang di kalangan menengah meneteskan air liur. Selain karena sudah sarapan sebelum berangkat, itu juga karena dia tak nyaman duduk bersama dengan Vilita.
Sial, ini ternyata tak seru-serunya. Aku memilih pilihan salah, batinnya. Cleon makan meski sudah kenyang, Asher hanya memakan setengah. Itupun setiap suapan kecil-kecil dagingnya. Rezvon sama seperti Cleon, untuk menghormati Vilita sebagai tuan rumah. Mereka berempat duduk sejajar di sisi kiri, Liana dan Haintz di sebelah kiri, dan Virgil di ujung.
"Benar, Baginda. Saya merasa tak enak kita harus bertemu di kondisi perang karena Rie seperti ini," jawab Rezvon dengan santai. Virgil mengangkat alis. "Ini akan menjadi urusan panjang, Yang Mulia Rezvon. Semua orang tahu kalau hubungan kita tak sebaik itu."
Rezvon mengangkat dagu sedikit, sebagai tanda kalau dia tak boleh diremehkan Virgil. "Tapi itu bukan berarti kalau kita takkan pernah bisa berdamai? Anda juga tahu sendiri kalau tak ada gunanya kita menggunakan kekuatan masing-masing, karena yang kita perlukan adalah persatuan. Saya tahu ini akan sulit, tapi saya takkan menyerah begitu saja."
Sang mantan raja dan Virgil saling melempar senyum dingin. Tidak ada salahnya menyinggung-nyinggung hal ini sebagai bujukan. Kesan pertama yang diperlukan Rezvon adalah harus sopan dan jangan memancing emosi keluarga Vilita. Nanti, kalau sudah masuk ke inti tujuan, dia boleh melakukan itu. Ucapannya ini sekadar basa-basi.
Virgil meneguk minuman anggur –– yang sepertinya kurang pas untuk sarapan. "Anda memang tak mudah menyerah. Padahal sejak dulu kita saling menghindar, upanya Anda untuk mendamaikan kita lebih sering lewat Baginda Aldrich. Saya tidak menyangka Anda akan datang sendiri, membawa anak perempuan Anda bersama teman-temannya."
Sharley meletakkan pisau makan dan garpu. Air kencing di kandung kemihnya makin meronta-ronta untuk dikeluarkan. Kalau mau pamit sekarang, bisa-bisa kena tatapan sinis dari Vilita. Dia pun tersenyum sekadarnya, begitu juga dengan Cleon. Asher hanya senyum tipis.
"Saya senang bertemu denganmu, Tuan Putri. Perkenalkan, nama saya Liana Olortynall Vilita. Ini anak saya, Haintz Vilita," salam Liana.
"Tentu. Nama saya Sharley Alerian."
"Salam Yang Mulia Raja dan Ratu. Nama saya Cleon Adonnis."
"Saya terhormat bisa bertemu dengan keluarga Vilita. Nama saya Asher Adalvino. Kami berdua adalah teman Tuan Putri Sharley sejak kecil. Meskipun kami bukanlah bangsawan, tapi kami akan berusaha sebaik-baiknya menjaga martabat dan berperilaku sopan. Mohon bimbingannya jika kami melakukan kesalahan." Asher dengan mujurnya bercakap-cakap ria, yang langsung menarik perhatian keluarga Vilita.
"Tata krama Anda sangat baik, Tuan Asher. Saya ragu Anda pernah melakukan kesalahan. Ah, kalian berdua bisa berteman dengan Haintz. Usia kalian 'kan tidak jauh," sambar Liana.
Sharley dan Cleon diam-diam mengumpat pada Asher. Tapi Asher memang punya pesona yang bahkan bisa menarik orang yang membencinya menjadi menyukainya. Contohnya adalah Sharley sendiri.
"Saya terhormat menjadi teman pangeran, Ratu," tutur Asher lembut. Tapi tampaknya Haintz tak sesenang Asher. Tatapannya tetap saja angkuh, pertanda kalau dia menolak berteman dengan orang yang bukan bangsawan.
Andai kau tahu Asher ini anak dari kerajaan paling berpengaruh di dimensi lain, batin Sharley.
Haintz menatap Sharley dengan mata jingga kemerahannya. "Tuan Putri, saya dengar Anda belum bertunangan sama sekali dengan pria."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (2): The Secret's of the Hatrany (√)
FantasyHatrany adalah kaum terendah di Negeri Hyacintho. Mereka dijadikan budak, sering disakiti baik secara fisik maupun mental. Mereka selalu dipandang rendah, diperlakukan layaknya binatang. Sebagian kaum-kaum lain pun tak ada yang mau menolong mereka. ...