XXXIX : Dikurung dalam Besi

466 103 2
                                    

Sharley mondar-mandir di lorong istana. Perasaan tak tenang menguasai dirinya. Tangannya kebas tanpa alasan dan kepalanya pening memikirkan kedua temannya. Darah menderu di telinganya. Langit malam tak menunjukkan bulan dan sangat muram. Itu sangat mendukung perasannya saat ini. Jarum jam menunjukkan angka sembilan, tapi Sharley tak sanggup pergi ke kamarnya. Satu jam lalu mereka pergi, tapi tak memberi kabar sama sekali.

Asher tak bisa dikontak. Ada sesuatu yang menghalangi kontaknya, Sharley memaki-maki karena hal itu. Penghubung satu-satunya hanyalah Asher. Tapi sekarang Asher tak tahu dimana rimbanya. Kabar terakhir Asher adalah "Kami sudah sampai di tepi laut Ocelama."

Sharley mengusap muka, setitik air menerobos dari kelopak matanya. Belum pernah ia sekhawatir ini pada Asher dan Cleon. Ia seharusnya yakin atas kemampuan pertahanan mereka, tapi itu tak terjadi. "Ya Tuhan, tolong selamatkan mereka." Sharley yakin ada sesuatu yang buruk terjadi.

Tiba-tiba kalung di leher Sharley jatuh. Ia memungut kalung permata topaz itu, menelan saliva susah payah. Rantai kalungnya putus. Perasaannya semakin memburuk. Itu adalah kalung hadiah dari Cleon saat ulang tahunnya kelima belas. Kalung itu jarang digunakan, tapi merupakan salah satu benda berharganya.

"Cleon, Asher, aku sangat tidak tenang," guman Sharley. Ia berusaha menghubungkan telepati, tapi tak ada jawaban dari seberang sana. "Apakah Asher tak sadarkan diri? Tapi, kenapa? Jangan-jangan mereka tertangkap Rie."

Sharley menggeleng, mencoba tak berpikiran negatif. Tapi, kepalanya justru dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi pada mereka saat ini. Itu membuatnya makin frustasi. Sharley menggenggam erat kalungnya dengan protektif. Ia menengadah, berdoa supaya mereka diberi keselamatan.

"Oh, Tuan Putri?"

Sharley menoleh, menemukan Haintz yang melangkah dari ruang kerjanya. Sharley menyembunyikan kalung di balik tubuh, berusaha tersenyum ramah. "Halo, Putra Mahkota."

Haintz mendekat, aroma samar jeruk menguar dari pakaiannya. Wajah Haintz kelihatan kaku seperti biasa, apalagi bahasan Thalia tadi pagi merubah moodnya. Kilatan mata Haintz menjadikan Sharley berwaspada, perasaannya makin tak enak.

"Kenapa belum tidur? Ini sudah larut malam, lho."

"Saya belum mengantuk. Lagipula ini bukan jam tidur saya," jawab Sharley. Haintz makin mendekat. Sharley melangkah mundur, buku-buku jarinya memutih. Aroma jeruk semakin menyengat, bersamaan dengan rasa waspadanya.

"Yang Mulia, apa yang Anda lakukan?" Sharley menggigit lidah. Badan Haintz hanya berjarak dua inci darinya, dan mata pria itu terpusat pada bibirnya. Langkah Sharley terhenti ketika badannya menyentuh tembok, ia ingin menyingkir ke samping tapi tangan Haintz mengurung kanan-kirinya.

Astaga, dia mau melecehkanku? Sialan. Ia memaki dalam hati, kakinya sudah siap menendang Haintz kapan saja. Tapi mendadak gerakannya kaku saat Haintz meraih dagu dan membuatnya mendongak. Mata pria itu sangat berbahaya, seakan mau memakan Sharley dan menjadikannya tak berharga.

"Putra Mahkota, jangan macam-macam. Saya takkan membiarkan sembarang pria menyentuh saya," peringatnya. Suara napas Sharley beradu dengan napas panas Haintz. Tapi ia sangat menggigil seakan ditelanjangi. Badannya gemetar ketakutan dan tanpa sadar melukai lidahnya. Darah terasa asin di mulut, tapi Sharley menelannya dan menimbulkan gejolak mual. Menelan darah bagi Sharley tak pernah berakhir baik.

"Oh, benarkah? Tapi Anda sangat ketakutan begini. Dan kedua teman lelakimu 'kan pernah menyentuhmu, kenapa saya tak boleh?" Cengkraman Haintz pada dagu semakin erat, mengirim sensasi dingin pada kulit.

"Mereka bukan sembarang pria. Mereka adalah teman dekat saya, jelas berbeda. Apa yang Anda inginkan?" Sharley berusaha menelan ketakutannya, menunjukkan lagak berani.

The Eternal Country (2):  The Secret's of the Hatrany (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang