🌹🌹🌹
Briona Anindyaswari hidup sebagai yatim piatu. Sejak kecil, tidak ada yang dipanggilnya ayah dan ibu. Hanya ada nenek, itu pun adalah perempuan paruh baya yang mengurus sebuah panti asuhan tempatnya tinggal.
Hidupnya tidak ada yang spesial. Hidup beramai-ramai bersama anak-anak yang lain, harus saling mengalah, dan terkadang pula sangat merindukan perhatian.
Sejak kecil, Briona adalah anak yang pasif, tidak banyak tingkah dan juga ekspresi. Mungkin karena faktor hidup di panti, dia cenderung memendam karakter yang dingin dan juga susah berempati. Tapi nenek pengurus panti tahu, kendati Briona minim ekspresi, namun dia baik hati. Selalu mengalah jika ada anak lain yang menginginkan mainannya, memberikan sisa makanannya jika masih ada anak yang kelaparan, masih banyak lagi.
Dan Rumi, sebagai seseorang yang mengurus Briona sejak kecil, merasa sangat bahagia begitu pasangan sosialita berniat mengadopsinya. Saat itu Briona sudah berusia lima tahun. Rumi senang, karena kedua orang kaya itu pasti bisa menjamin masa depan Briona.
“Hai, Sayang,” sapaan ramah dari seorang wanita dengan pakaian serba branded dan kuku-kuku panjangnya yang cantik itu mengarah kepada Briona.
Briona hanya mengerjap, tidak membalas atau justru membuang muka. Dia hanya enggan berbicara.
“Briona memang seperti itu Bu, kalau sama orang yang belum dia kenal.” Rumi menjelaskan.
Perempuan cantik itu kini berjongkok, menyetarakan tubuhnya di hadapan seorang gadis kecil pemilik mata indah yang terlihat cemerlang. Belum apa-apa, dia sudah jatuh cinta dengan Briona.
“Mulai hari ini, Bri ikut sama Mama, ya. Bri kan, sudah lima tahun, bentar lagi mau sekolah. Di kota pasti lebih mudah buat Bri pulang pergi,” katanya.
Briona dengan kerjapan polos menoleh ke arah Rumi sekali. Sebelum menatap wanita cantik di hadapannya. “Tapi adik-adik di sini nggak ada yang sekolah.”
Briona pada dasarnya adalah sosok yang pengalah, dia tidak kesal jika tidak menang, dan ketika harus merasakan sekolah sendirian sedangkan para adik-adik atau teman-teman sebayanya tidak merasakan hal yang sama, dia sedikit keberatan.
“Bri sekolah dulu, biar pinter. Nanti kalau sudah pintar dan menjadi orang yang sukses, Bri bisa sekolahkan semua anak-anak yang ada di sini.” Lagi, sang wanita cantik tidak henti membujuk. Dan dia bisa merasakan tatapan polos itu sedikit goyah. “Kalau sudah besar nanti, Bri ingin jadi apa?”
Tatapan Briona turun, kalung dengan bandul kecil berbentuk mawar berwarna putih yang dipakai seseorang di depannya ini begitu mencuri perhatian. Lalu dengan tak kalah lugunya dia menjawab, “Aku pengin jadi penjual bunga.”
Dan orang dewasa yang berada di sekitarnya tertawa.
🌹🌹🌹
“Turun.”Briona menoleh mendengar perintah yang terdengar super dingin itu. Dia diam sesaat, menatap Kama, yang menatap ke depan sambil mengetatkan rahang.
Mereka baru saja keluar dari lingkungan megah milik Nareswara. Namun belum benar-benar sampai ke jalan raya, di sekitar bahkan masih terlihat pohon-pohon pinus dan matahari sedang berterik begitu menyengatnya, tapi Kama bahkan sudah tidak tahan berada dekat-dekat dengan Briona terlalu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...