🌹🌹🌹
"Mbak Bri kenapa pucat banget?!" Ayu memekik begitu melihat Briona keluar dari kamarnya. Dengan segera dia mendekat saat Briona tampak berjalan dengan tertatih. Sesekali merintis memegangi perutnya.
"Setiap haid memang begini, nggak usah khawatir," ucap Briona tersenyum tipis. Dibantu Ayu, dia berjalan menuju kamar mandi untuk ganti pembalut.
"Sampai nggak bisa jalan begini?" tanya Ayu khawatir. Dia mengambil kursi plastik segera dan meletakkannya di dalam kamar mandi. Tahu kalau Briona pasti sedikit kesulitan melakukannya dengan berdiri di saat perutnya sedang kesakitan.
"Makasih, Ayu."
Pintu tertutup. Lalu dengan jemari mencengkeram erat perutnya yang linu, Briona duduk di atas kursi plastik yang tadi sudah disiapkan oleh Ayu.
Kista. Sebesar kepalan tangan bayi tumbuh di dalam rahimnya. Itu yang dikatakan Wisesa. Akibat kuretasi yang kurang 'bersih' tujuh tahun lalu, menyebabkan infeksi parah pada dinding rahim serta daging tumbuh di sana. Pantas Briona selalu merasakan nyeri yang amat sangat setiap tamu bulanannya datang. Ini sebabnya.
Meski Wisesa menyarankan untuk segera operasi pengangkatan agar kista di dalam rahimnya tidak tumbuh semakin besar dan membuat keadaannya tambah parah, Briona memilih menundanya. Nanti saja. Dia lebih memilih menyembuhkan hati serta mentalnya terlebih dahulu. Anggap saja ini karma untuknya atas janin yang telah dibunuhnya tujuh tahun lalu. Briona amat sangat pantas mendapatkannya.
🌹🌹🌹
Keadaan di dalam mobil itu hening mencekam. Ke dua pria yang duduk di dalamnya tampak tak berniat membuka percakapan demi menghapus suasana canggung yang menguasai.
Si pria yang menyetir tampak fokus mencengkeram kemudi erat. Matanya ke depan dengan rahang mengetat. Sedangkan si pria lain tampak menggigiti jari dengan pandangan jauh ke luar jendela.
Napas kasar tampak dibuang Elang melalui mulutnya. Dia benar-benar dilanda khawatir. Cemas setengah mati memikirkan kondisi wanita yang selama ini selalu digilainya. Demi apapun, jika kali ini Melody ataupun Rajendra tidak tahu keberadaan Briona, Elang akan menggunakan posisinya sebagai anggota Badan Intelejen untuk menyisir seluruh kota.
"Sebenarnya ... Briona sakit apa?" Kama tak kalah cemasnya. Bagaimanapun, meskipun dia cukup berusaha untuk mengabaikan selama ini, nyatanya, dia tetap peduli. Ikut cemas jika terjadi sesuatu pada seseorang yang-dulu, pernah dia anggap adik sendiri.
Namun Elang tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Tetap diam dengan wajah kentara sekali menahan berjuta emosi. Kama juga menduga, sakit Briona bukanlah sakit biasa sampai membuat pemuda di sampingnya ini tampak begitu mencemaskannya.
Setelah beberapa saat, akhirnya mobil milik Elang melewati pinus-pinus terawat yang setiap di sisi jalannya diterangi lampu. Samar, gerbang hitam yang tampak kokoh menjulang mengintip di balik pepohonan.
Mobil sedan putihnya berhenti tepat di sana. Karena gerbang dengan sensor itu tidak mengenali plat mobilnya, tentu tidak akan membuka dengan sendirinya seperti yang biasa dilakukan Kama.
Kama langsung turun. Menuju interkom yang menghubungkannya dengan ruang satpam. Dan saat salah satu satpamnya menyahut, dia segera memberitahu untuk membuka gerbang.
Pintu gerbang hitam itu terbelah dua. Bergeser ke sisi berseberangan mempersilakan mobil sedan itu masuk perlahan ke dalam istana mewah kediaman Nareswara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...