🌹🌹🌹
Sudah bermenit-menit lamanya, tapi Kama masih enggan mengangkat kepalanya dari pangkuan Briona. Tangis wanita itu sudah selesai, namun dia belum. Berjuta sesal menumpuk, terlalu berat untuk diangkat dan ditendang keluar. Kesalahannya kepada Briona tidak bisa hanya dihitung menggunakan sepuluh jari.
“Aku nggak akan minta maaf, Bri. Karena itu sama sekali nggak pantas untukku.” Suara serak nan lirih Kama kembali terdengar. “Aku juga nggak akan berkata ingin menebus semuanya, karena aku tau, semua harta, raga, nyawa yang aku punya pun belum cukup untuk membayar kesakitan kamu.”
“Mas—” Briona mencoba mengangkat kepala pria itu, namun Kama segera menggeleng. Tetap membenamkan wajahnya.
“Aku belum selesai,” kemudian pria itu mendongak, demi menemukan manik cokelat yang masih basah. “Aku—benar-benar nggak tahu harus melakukan apa. Kamu juga boleh menghukumku, apapun itu, lakukan aja. Tapi pulang, ya? Kesehatan kamu penting, Bri. Mama dan Papa khawatir.”
Briona tahu. Namun semuanya tidak akan selesai hanya karena pria itu yang meminta padanya. Semua kesakitan yang Kama torehkan masih terasa nyata. Tidak bisa terhapus begitu saja sekalipun Kama memohon atau bahkan bersujud di kakinya.
Untuk itu, dia membuang muka, mengindari tatapan Kama yang tampak mengiba. Memohon, memintanya. “Aku akan pulang. Tapi nggak sekarang.”
“Bri, tolong—”
“Aku bisa mengurus tubuhku sendiri, Mas. Mas Kama nggak perlu merasa bersalah seperti itu.” Ya, seandainya saja Kama tidak mengetahui tentang tragedi tujuh tahun lalu, atau tentang penyakit yang saat ini diderita Briona, Briona yakin sekali sikapnya tidak akan seperti ini.
Kama yang lembut dan penuh perhatian hanya ada di dalam angannya saja. Sedangkan nyatanya, Briona lebih banyak menerima kalimat kasar serta makian dari pria itu.
Mendengar jawaban dari Briona, Kama kembali menunduk. Menyentuhkan dahinya pada lutut wanita itu. Tentu, tidak semudah itu membujuk Briona, kan? Kama juga sadar sekali bahwa bukan dirinya yang seharusnya berada di sini, membujuk wanita itu untuk pulang. Karena bagaimanapun, Kamalah penyebab Briona menghindar.
“Sampai kapan?” Kama kembali bertanya. Dia mendongak lagi, matanya kembali memerah.
“A—aku nggak tau,” jawab Briona sebelum kemudian membuang wajah. Dia tidak mau kembali ‘menurut’ melihat mata berkaca serta wajah pilu pria di depannya. Bagaimanapun, Briona terbiasa diperlakukan kasar oleh Kama, dan menghadapi Kama yang seperti ini, Briona jadi aneh sendiri.
“Aku akan di sini sampai kamu mau pulang.” Kama memutuskan.
Briona menggeleng. “Mas Kama harus pulang.” Percuma saja dia kabur untuk membenahi hatinya jika si ‘penghancur’ ikut ke mari.
“Aku akan di sini, selama kamu di sini,” tegasnya keras kepala.
“Kita sudah cerai,” ucap Briona pelan. Lalu menelan ludah. “Kalau mau perhatian, seharusnya dari dulu. Bukan sekarang.” Briona tidak tahan. Kenapa Kama masih menunjukkan arogansinya seolah Briona akan setia menurut layaknya Briona yang dulu? “Kalau alasannya hanya karena Mas Kama menyesal atas bayi—kita, itu nggak perlu. Tujuh tahun ini, aku bisa mengatasinya sendiri. Juga ... Bukannya Mas Kama sendiri yang meminta aku untuk menjauh, agar kesialan yang aku bawa nggak menular ke Mas Kama?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...