🌹35; Kesempatan

6.7K 705 23
                                    

Sebelum baca, follow akun eonni dulu, yuk.


Udah?

Terimakasih.

Dan selamat membaca ❤

🌹🌹🌹

Sepertinya, hari ini merupakan rekor terbaru Kama menghabiskan air mata dalam kurun waktu beberapa jam saja. Duduk membungkuk di ujung kasur Briona, dia mengusap wajahnya yang memerah. Lalu kembali mendongak, menghembuskan napas kasar, sebelum menunduk lagi. Hal ini dilakukannya berulang kali sejak penemuan botol kecil yang bisa membahayakan nyawa seseorang itu.

Sedangkan Briona yang masih duduk menyandar di kepala ranjang mengamati punggung Kama. Pria itu tampak menghela napas berkali-kali. Setelah mengungkapkan kalimat terakhir dengan mata menyorot sendu Briona, seolah tenaganya habis terhisap entah oleh apa, Kama langsung menjatuhkan diri di pucuk ranjangnya.

“Mau bagaimana lagi?” Akhirnya, Briona menjawab setelah beberapa saat. “Mimpi itu terus datang setiap malam. Aku nggak akan bisa tidur tanpa obat itu.”

Kama tidak menyahut. Tarikan napasnya yang berat masih terdengar di udara. Dia mencengkeram kuat botol kecil itu seolah hendak meremukkannya. “Aku tau aku nggak berhak marah ataupun melarang, Bri. Cuma—” dia kembali mengambil napas. Sengatan panas menghujam dada berangsur ke mata, menciptakan embun hangat sebelum membiarkannya kembali meluncur turun melewati pipi. “Membayangkan kamu selama ini kesakitan sendirian, aku merasa kotor sekali.”

“Mas Kama nggak perlu merasa seperti itu.” Karena Briona yang memilih untuk tidak membagi kesakitannya dengan siapapun. Penyesalan atas janin empat bulan yang tujuh tahun lalu dibunuhnya, membawanya pada hari demi hari penuh pilu sampai detik ini. Dan Briona rasa, itu bahkan belum sepadan. Karmanya terhadap Ganendra belum terbayar.

Lalu Kama menoleh. Wajah serta matanya yang memerah tertangkap mata Briona. Pria itu tampak kacau. Menyesal adalah kata yang remeh untuk kondisinya saat ini. Bukan hanya itu, ada banyak sekali perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan. Semua perlakuannya terhadap Briona selama ini, semua tutur katanya yang kejam, semuanya, dia berharap mendapat balasan yang setimpal. Untuknya. Kesakitan kontan siap Kama terima. Tapi tidak dengan menyaksikan sendiri menyingkapnya satu demi satu masa lalu kelabu yang menaungi Briona.

Pria itu merangkak mendekat. Kekacauan yang melanda hatinya sungguh tidak bisa dideskripsikan. Matanya memindai wanita yang tetap diam, ikut menatapnya dengan wajah datar. Yang jika diamati lebih lekat, semua orang akan tahu jika wanita itupun menyimpan kekacauan yang sama, namun memilih menyembunyikannya dengan baik di balik wajah tanpa ekspresi yang tak tersentuh.

Seharusnya selama ini Kama tahu. Seandainya saja dia tidak memilih abai dan beramsumsi sendiri, seharusnya dia sadar, bahwa perkataannya yang keji, mampu mengoyak Briona. Wanita itu hanya tidak menunjukkannya.

Kemudian, Kama menarik tubuh Briona yang kaku. Memeluknya untuk kali kedua. Lagi, dia menumpahkan air mata di sana. Di pundak Briona.

“Setelah ini, kamu bebas menyakiti aku. Tapi aku mohon, demi Mama dan Papa—demi orang-orang yang sayang sama kamu, jangan pernah menyakiti diri kamu sendiri.”

🌹🌹🌹

Briona membuka mata setelah fajar menyingsing. Matanya menyipit saat seseorang tiba-tiba membuka jendela kayu itu untuk menghantarkan sinar matahari pagi yang berlomba-lomba masuk menerangi kamarnya.

Mengerjap, sebelum siluet seorang pria bertubuh besar tinggi dengan kaus putih dan celana selutut terlihat jelas memunggunginya. Siapa?

Punggung itu kemudian berbalik. Ah, Kama ternyata. Kenapa Briona sampai lupa kalau pria itu sudah berada di sini sejak semalam?

“Sudah bangun?” Kama bertanya setelah mendekat. Duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Briona yang baru saja membuka mata.

Entah kenapa, suasana menjadi aneh. Mungkin karena Briona yang jarang sekali mendengra Kama berbicara menggunakan nada selembut itu kepadanya. Atau ... Karena pelukan serta kehangatan yang pria itu bagi semalaman?

Mengingat kalau semalam mereka tidur dengan berbagi suhu tubuh dan menempel layaknya permet karet yang terjebak di rambut, membuat pipi Briona memanas seketika. Entah suasana magis apa yang menyelimuti mereka sampai Briona mengizinkan pria itu memeluknya.

“Kenapa? Perutnya masih sakit?” Tatapan lembut Kama berubah khawatir. Wajah Briona tampak memerah, dia takut sesuatu terjadi pada perut wanita itu.

“Nggak apa-apa.” Briona bangkit segera. Nyeri itu masih ada, namun sudah tidak sesakit kemarin.

“Semalam tidurmu nyenyak banget.”

Perkataan Kama membuat gerakan Briona yang sedang melipat selimut mematung seketika.

“Mungkin, kamu hanya perlu pelukan seseorang untuk menghilangkan ketakutan kamu.”

Brioan menatap Kama dengan menyipit. “Aku nggak minta dipeluk sama Mas Kama.”

“Siapa yang bilang kamu minta dipeluk sama aku?” Kama tersenyum. “Aku yang pengin sendiri.”

Briona sudah akan membuka mulutnya ketika pintu diketuk dari luar.

“Mbak, mobilnya sudah datang.” Suara Ayu menyahut kemudian.

Briona segera beranjak. Mengikat asal rambut panjangnya menjadi cepolan. Tanpa membersihkan diri atau mencuci muka, dia segera keluar. Tidak tahu serindu apa dirinya menahan diri untuk tidak menangis saat mengingat mawar-mawarnya yang cantik.

Kama mengikuti. Melihat bagaimana antusiasnya Briona menyambut turun mawar putih di dalam pot kaca yang terukir gambar burung elang itu. Mendekapnya erat sambil menyaksikan mawar-mawar yang lain yang diangkut menuju rumah kaca kecil di samping rumah milik Nek Rumi.

“Mas Kama nggak suka bunga, ya?”

Suara Ayu membuat Kama menoleh. Gadis itu sudah rapi dengan setelab batik juga jilbab pashmina dengan warna senada. “Siapa yang bilang?”

Dagu Ayu menunjuk ke arah Briona. Penampilan Ayu pagi ini dengan Briona tampak kontras sekali. Ayu yang rapi, sedangkan Briona masih memakai piyama tidur serta wajah polosnya tanpa sapuan bedak atau bahkan sabun cuci muka sekalipun.

“Saya suka bunga kok. Cuma nggak bisa cara merawatnya aja,” jawab Kama. Matanya tidak berhenti mengikuti pergerakan Briona yang tampak sibuk sendiri.

“Mas tau kenapa Mbak Bri memindahkan semua bunganya ke sini?”

Kama melirik Ayu dengan kening berkerut.

Ayu melanjutkan. “Itu karena Mbak Bri memutuskan untuk menetap di sini.” Gadis dua puluh empat tahun itu kemudian membalas tatapan Kama. “Jadi, kalau Mas Kama memutuskan untuk bawa Mbak Bri pulang, tolong perlakukan dia dengan baik. Soalnya ... Meskipun Ayu sering lihat dia senyum, Ayu tau kalau dia lagi sedih.”

Lalu Kama kembali mengamati Briona. Wanita itu masih memeluk pot bunganya.

“Jadi, seandainya Mbak Bri memberi kesempatan kedua, jangan lagi disia-siakan. Susah loh mencari wanita sebaik Mbak Bri di dunia ini.”

Ya, memang susah. Susah sekali. Karena saking baiknya, Kama yang kotor justru malah merasa tidak pantas, untuk mendapatkan kesempatan apapun dari wanita sebaik Briona.

🌹🌹🌹

Kasih yang manis-manis aja dulu, ya. Paitnya nyusul kemudian 😄

Vidia,
09 Oktober 2021.

Second Chance [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang