🌹33; Air Mata

7.6K 761 35
                                    

🌹🌹🌹

Elang mendengus kasar. Sial sekali nasibnya hari ini. Mengetahui penyakit yang diderita Briona, lalu di saat ada kesempatan untuk menjemput wanita itu, panggilan mendadak dari sang atasan malah menginterupsi. Membuat Elang yang tidak bisa melawan mau tidak mau harus putar arah untuk menuju kantornya saat ini juga.

Dia berjalan dengan wajah suram. Lalu membuka pintu ruangan di mana sang atasan memanggilnya.

Ada total sekitar lima orang di sana. Si Pirang yang beberapa saat lalu sempat mampir ke apartemennya, Fabian. Si Garang bertubuh tinggi besar, Yudha. Si Pendiam yang akhir-akhir ini menjadi budak cinta, Alvaro. Si Janda mantan istri tua bangka pejabat negara yang korupsi, Janeta. Juga pria botak yang masih membuat Elang kesal setengah mati, atasan sekaligus komandan mereka, Prayit Suseno.

Tidak peduli dengan wajah keruh dari anak buahnya, Prayit justru tersenyum miring. “Ada kasus baru. Kamu pasti tertarik untuk menanginya, Elang.”

🌹🌹🌹

Briona berjalan tertatih dengan Nenek Rumi dan Ayu di samping kanan kirinya. Jantungnya bertalu tidak karuan. Keringat dingin menyapa seiring dengan perutnya yang bertambah nyeri.

Di sana. Tepat tiga meter di depannya, akhirnya dia bisa menemukan wajah Kama. Duduk dengan raut tegang menanggapi obrolan suami Nenek Rumi seadanya. Dan saat mata mereka bertemu, entah apa yang membuatnya berkaca. Sudah lama, dia tidak mendapati sorot putus asa dari pria itu lagi.

Briona menahan napas ketika Kama berdiri. Tanpa memutus kontak mata di antara mereka, Kama berjalan mendekat. Sebelum memancing kesiap semua orang karena tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya, berdiri disangga kedua lutut dengan kepala menunduk.

Ayu yang menyaksikan itu bahkan langsung membekap bibirnya tidak percaya.

“Mas Kama ....” Suara Briona bergetar saat memanggil nama pria itu.

“Aku terlalu kotor untuk sekedar minta ampun, Bri,” ucap Kama dengan serak. Wajah kalutnya dia sembunyikan dengan menunduk dalam. Dia merasa tidak punya lagi muka untuk menatap Briona. Seseorang—yang sudah berulang kali disakitinya. “Aku tau aku nggak pantas mendapat ampunanmu walaupun aku bersujud sekalipun. Aku juga tau bahkan nyawakupun belum cukup untuk menebus semua yang udah aku lakukan.”

“K—kita bicara di kursi, Mas. Jangan begini.” Briona masih dilanda kebingungan. Dia menyentuh bahu Kama agar pria itu mau beranjak. Tidak enak rasanya membiarkan pria itu terus berlutut di hadapan keluarga Nenek Rumi. “Jangan begini.”

Ayu dan sang ibu saling lirik, sedangkan Suryo—suami Rumi berdiri dengan salah tingkah, sebelum mengatakan, “Yo wis, duduk dulu sini. Itu Bri lagi sakit, jangan kelamaan berdiri.”

Kama yang mendegar kata ‘sakit’ langsung sadar dan segera bangkit. Dia tidak peduli seandainya Briona memergoki matanya yang memerah dan jejak basah di pipinya. Segera, dia mengambil alih tubuh Briona dari Ayu dan Rumi, kemudian menuntunnya ke kursi sederhana.

“Diselesaikan dulu, ya. Kami biar masuk biar sampean ngobrolnya enak.” Suryo kemudian memerintahkan istri serta putrinya untuk masuk ke dalam. Meskipun Rumi kentara sekali menyuarakan protes. Takut terjadi sesuatu dengan Briona, katanya. “Ini kan rumah tangga mereka, Buk. Lebih baik diselesaikan berdua. Kita nggak perlu ikut campur. Nanti kalau ada apa-apa barusan kita boleh turun tangan.” Akhirnya, setelah itu Rumi mau di ajak masuk ke dalam.

Setelah ditinggalkan berdua, Briona masih menunduk sambil meremas-remas jemarinya di pangkuan. Dia tidak tahu apa yang terjadi di kota sana sampai Kama sudi menginjakkan kakinya ke sini hanya demi berbicara dengannya. Semoga, bukan sesuatu yang menyakitkan lagi. Semoga, bukan makian atas kesialan yang dulu pernah Kama lontarkan atas hidupnya, lagi.

Second Chance [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang